Senin, 21 November 2011

CARA MENGATASI TANTRUM PADA ANAK

Mengatasi Tantrum Pada Anak


Sumber: Indofamily.net oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi.

Jika anak-anak menangis dan mengamuk hanya karena tak dibelikan mainan kesukaannya, orangtua diharap memahami kondisi ini. Luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol pada anak-anak, disebut sebagai  Temper Tantrum.

Temper Tantrum (untuk selanjutnya disebut sebagai Tantrum) seringkali muncul pada anak usia 15 (lima belas) bulan sampai 6 (enam) tahun. Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap "sulit", dengan ciri-ciri sebagai berikut:
    
   1.Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
   2.Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
   3.Lambat beradaptasi terhadap perubahan.
   4.Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.
   5.Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/kesal.
   6.Sulit dialihkan perhatiannya.

Tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Di bawah ini adalah beberapa contoh perilaku Tantrum, menurut tingkatan usia:
     
1.   Di bawah usia 3 tahun:
    * Menangis
    * Menggigit
    * Memukul
    * Menendang
    * Menjerit
    * Memekik-mekik    
    * Melengkungkan punggung
    * Melempar badan ke lantai
    * Memukul-mukulkan tangan
    * Menahan nafas
    * Membentur-benturkan kepala
    * Melempar-lempar barang
 
2.   Usia 3 - 4 tahun:
    * Perilaku-perilaku tersebut diatas
    * Menghentak-hentakan kaki
    * Berteriak-teriak
    * Meninju
    * Membanting pintu
    * Mengkritik
    * Merengek
 
3.   Usia 5 tahun ke atas
    * Perilaku- perilaku tersebut pada 2 (dua) kategori usia di atas
    * Memaki
    *  Menyumpah
    *  Memukul kakak/adik atau temannya
    *  Mengkritik diri sendiri
    *  Memecahkan barang dengan sengaja
    *  Mengancam

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Tantrum.

Diantaranya adalah sebagai berikut:
     
1. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu.
Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara Tantrum untuk menekan orangtua agar mendapatkan yang ia inginkan, seperti pada contoh kasus di awal.
 
2. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri.
Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtuapun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk Tantrum.
 
3. Tidak terpenuhinya kebutuhan.
Anak yang aktif membutuh ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah Tantrum.
Contoh lain:
anak butuh kesempatan untuk mencoba kemampuan baru yang dimilikinya. Misalnya anak umur 3 tahun yang ingin mencoba makan sendiri, atau umur anak 4 tahun ingin mengambilkan minum yang memakai wadah gelas kaca, tapi tidak diperbolehkan oleh orangtua atau pengasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau kesal karena tidak diperbolehkan, ia  memakai cara Tantrum agar diperbolehkan.
 
4. Pola asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan Tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa Tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku Tantrum. Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak Tantrum.

Misalnya, orangtua yang tidak punya pola jelas kapan ingin melarang kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu dan  orangtua yang seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum.

Anak akan dibingungkan oleh orangtua dan menjadi Tantrum ketika orangtua benar-benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa jadi akan Tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orangtua.
 
5. Anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit.  
6. Anak sedang stres (akibat tugas sekolah, dll) dan karena merasa tidak aman (insecure).
    

Cara Mengatasi
Dalam buku Tantrums Secret to Calming the Storm (La Forge: 1996) banyak ahli perkembangan anak menilai bahwa Tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif dan emosi anak. Sebagai bagian dari proses perkembangan, episode Tantrum pasti berakhir.
 
Beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku Tantrum adalah bahwa dengan Tantrum anak ingin menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan rasa marah dan frustrasi dan membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit.

Namun demikian bukan berarti bahwa Tantrum sebaiknya harus dipuji dan  disemangati (encourage). Jika orangtua membiarkan Tantrum berkuasa (dengan memperbolehkan anak mendapatkan yang diinginkannya setelah ia Tantrum, seperti ilustrasi di atas) atau bereaksi dengan hukuman-hukuman yang keras dan paksaan-paksaan, maka berarti orangtua sudah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif (padahal sebenarnya tentu orangtua tidak setuju dan tidak menginginkan hal tersebut).

Dengan bertindak keliru dalam menyikapi Tantrum, orangtua juga menjadi kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel, dll) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut.
Jika Tantrum tidak bisa dicegah dan tetap terjadi, maka beberapa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah:
  •  Memastikan segalanya aman. Jika Tantrum terjadi di muka umum, pindahkan anak ke tempat yang aman untuknya melampiaskan emosi. Selama Tantrum (di rumah maupun di luar rumah), jauhkan anak dari benda-benda, baik benda-benda yang membahayakan dirinya atau justru jika ia yang membahayakan keberadaan benda-benda tersebut. Atau jika selama Tantrum anak jadi menyakiti teman maupun orangtuanya sendiri, jauhkan anak dari temannya tersebut dan jauhkan diri Anda dari si anak.
  • Orangtua harus tetap tenang, berusaha menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak.
  • Tidak mengacuhkan Tantrum anak (ignore). Selama Tantrum berlangsung, sebaiknya tidak membujuk-bujuk, tidak berargumen, tidak memberikan nasihat-nasihat moral agar anak menghentikan Tantrumnya, karena anak toh tidak akan menanggapi/mendengarkan. Usaha menghentikan Tantrum seperti itu malah biasanya seperti menyiram bensin dalam api, anak akan semakin lama Tantrumnya dan meningkat intensitasnya. Yang terbaik adalah membiarkannya. Tantrum justru lebih cepat berakhir jika orangtua tidak berusaha menghentikannnya dengan bujuk rayu atau paksaan.
Jika perilaku Tantrum dari menit ke menit malahan bertambahburuk dan tidak selesai-selesai, selama anak tidak memukul-mukul Anda, peluk anak dengan rasa cinta. Tapi jika rasanya tidak bisa memeluk anak dengan cinta (karena Anda sendiri rasanya malu dan jengkel dengan kelakuan anak), minimal Anda duduk atau berdiri berada dekat dengannya. Selama melakukan hal inipun tidak perlu sambil menasihati atau complaint (dengan berkata: "kamu kok begitu sih nak, bikin mama-papa sedih"; "kamu kan sudah besar, jangan seperti anak kecil lagi dong"), kalau ingin mengatakan sesuatu, cukup misalnya dengan mengatakan "mama/papa sayang kamu", "mama ada di sini sampai kamu selesai".  Yang penting di sini adalah memastikan bahwa anak merasa aman dan tahu bahwa orangtuanya ada dan tidak menolak (abandon) dia.

kendala dan keterlambatan bicara pada anak

Gangguan Keterlambatan Bicara


Gangguan keterlambatan bicara adalah istilah yang dipergunakan untuk mendeskripsikan adanya hambatan pada kemampuan bicara dan perkembangan bahasa pada anak-anak, tanpa disertai keterlambatan aspek perkembangan lainnya. Pada umumnya mereka mempunyai perkembangan intelegensi dan sosial-emosional yang normal. Menurut penelitian, problem ini terjadi atau dialami 5 sampai 10% anak-anak usia prasekolah dan lebih cenderung dialami oleh anak laki-laki dari pada perempuan.

Di awal usia batita, anak mulai mampu mengucapkan kata yang memiliki makna. Meski kebanyakan kata tersebut masih sulit dipahami karena artikulasi (pengucapannya) masih belum baik. Perlu diketahui, kemampuan batita dalam berbicara dipengaruhi kematangan oral motor (organ-organ mulut). Sementara, kemampuan yang menunjang perkembangan bahasa di antaranya kemampuan mendengar, artikulasi, fisik (perkembangan otak dan alat bicara), dan lingkungan.

Gangguan kemampuan bicara atau keterlambatan bicara dan berbahasa ini haruslah dideteksi dan ditangani sejak dini dan dengan metode yang tepat. Bagaimana pun juga, bicara dan bahasa merupakan media utama seseorang untuk mengekspresikan emosi, pikiran, pendapat dan keinginannya. Bayangkan saja, jika ia mengalami masalah dalam mengekspresikan diri, untuk bisa dimengerti oleh orang lain atau orang tuanya, guru dan teman-temannya, maka bisa membuat ia frustrasi. Mungkin pula ia akan merasa frustrasi dan malu karena teman-temannya memperlakukan dia secara berbeda, entah mengucilkan atau pun membuatnya jadi bahan tertawaan. Jika tidak ada yang bisa mengerti apa sih yang jadi keinginannya atau apa yang dimaksudkannya, maka tidak heran jika lama kelamaan ia akan berhenti untuk berusaha membuat orang lain mengerti. Padahal, belajar melalui proses interaksi adalah proses penting dalam menjadikan seorang manusia bertumbuh dan berhasil menjadi orang seperti yang diharapkannya.

PENYEBAB KETERLAMBATAN BICARA

Penyebab dari keterlambatan bicara ini disebabkan oleh beragam faktor, seperti :

1. Hambatan pendengaran

Pada beberapa kasus, hambatan pada pendengaran berkaitan dengan keterlambatan bicara. Jika si anak mengalami kesulitan pendengaran, maka dia akan mengalami hambatan pula dalam memahami, meniru dan menggunakan bahasa. Salah satu penyebab gangguan pendengaran anak adalah karena adanya infeksi telinga.

2. Hambatan perkembangan pada otak yang menguasai kemampuan oral-motor

Ada kasus keterlambatan bicara yang disebabkan adanya masalah pada area oral-motor di otak sehingga kondisi ini menyebabkan terjadinya ketidakefisienan hubungan di daerah otak yang bertanggung jawab menghasilkan bicara. Akibatnya, si anak mengalami kesulitan menggunakan bibir, lidah bahkan rahangnya untuk menghasilkan bunyi kata tertentu.

3. Masalah keturunan

Masalah keturunan sejauh ini belum banyak diteliti korelasinya dengan etiologi dari hambatan pendengaran. Namun, sejumlah fakta menunjukkan pula bahwa pada beberapa kasus di mana seorang anak anak mengalami keterlambatan bicara, ditemukan adanya kasus serupa pada generasi sebelumnya atau pada keluarganya. Dengan demikian kesimpulan sementara hanya menunjukkan adanya kemungkinan masalah keturunan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi.

4. Masalah pembelajaran dan komunikasi dengan orang tua

* Masalah komunikasi dan interaksi dengan orang tua tanpa disadari memiliki peran yang penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan berbicara dan berbahasa yang tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi dengan si anak lah yang juga membuat anak tidak punya banyak perbendaharaan kata-kata, kurang dipacu untuk berpikir logis, analisa atau membuat kesimpulan dari kalimat-kalimat yang sangat sederhana sekali pun. Sering orang tua malas mengajak anaknya bicara panjang lebar dan hanya bicara satu dua patah kata saja yang isinya instruksi atau jawaban sangat singkat. Selain itu, anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sejak dini (lebih banyak menjadi pendengar pasif) karena orang tua terlalu memaksakan dan “memasukkan” segala instruksi, pandangan mereka sendiri atau keinginan mereka sendiri tanpa memberi kesempatan pada anaknya untuk memberi umpan balik, juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan bicara, menggunakan kalimat dan berbahasa.
* Anak-anak yang diasuh oleh orangtua/pengasuh yang pendiam sering kali jadi kurang terstimulasi. Begitu juga anak-anak yang setiap hari kegiatannya hanya menonton teve.
* Anak-anak yang dimanja sehingga tanpa bicara pun, misalnya hanya menunjuk-nunjuk, sudah mendapatkan apa yang diinginkannya.


6. Adanya keterbatasan fisik seperti pendengaran terganggu, otot bicara kurang sempurna, bibir sumbing, dan sebagainya.

5. Faktor Televisi

Sejauh ini, kebanyakan nonton televisi pada anak-anak usia batita merupakan faktor yang membuat anak lebih menjadi pendengar pasif. Pada saat nonton televisi, anak akan lebih sebagai pihak yang menerima tanpa harus mencerna dan memproses informasi yang masuk. Belum lagi suguhan yang ditayangkan berisi adegan-adegan yang seringkali tidak dimengerti oleh anak dan bahkan sebenarnya traumatis (karena menyaksikan adegan perkelahian, kekerasan, seksual, atau pun acara yang tidak disangka memberi kesan yang mendalam karena egosentrisme yang kuat pada anak dan karena kemampuan kognitif yang masih belum berkembang). Akibatnya, dalam jangka waktu tertentu yang mana seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari lingkungan/orang tua untuk kemudian memberikan feedback kembali, namun karena yang lebih banyak memberikan stimulasi adalah televisi (yang tidak membutuhkan respon apa-apa dari penontonnya), maka sel-sel otak yang mengurusi masalah bahasa dan bicara akan terhambat perkembangannya

Menurut Dr. Hardiono D. Pusponegoro, SpA (K) mengutip hasil penelitian Hancox RJ. Association of Television Viewing During Childhood with Poor Educational Achievement.
Arch Pediatr Adolesc Med 2005, bahwa menonton tv saat masa anak dan remaja berdampak jangka panjang terhadap kegagalan akademis umur 26 tahun.

Sedangkan penelitian lain mengenai pengaruh tv terhadap IQ anak mendapati hasil bahwa anak di bawah 3 tahun yang rajin menonton televisi setiap jamnya ternyata hasil uji membaca turun, uji membaca komprehensif turun, juga memori. Yang positif hanyalah kemampuan mengenal dengan membaca naik. Dari situ disimpulkan bahwa menonton tv pada anak di bawah 3 tahun hanya membawa lebih banyak dampak buruk dibanding efek baiknya.
Anak yang sering menonton tv juga mengalami masalah pada pola tidurnya, seperti terlambat tidur, kurang tidur bahkan tak bisa tidur, cemas tanpa sebab, terbangun malam dan mengantuk pada siang hari.

Dr Hardiono menjelaskan, otak berfungsi merencanakan, mengorganisasi dan mengurutkan perilaku untuk kontrol diri sendiri, konsentrasi atau atensi dan menentukan baik atau tidak. "Pusat di otak yang mengatur hal ini adalah korteks prefrontal yang berkembang selama masa anak dan remaja," papar Dr. Hardiono. Televisi dan game video yang mindless (tak membutuhkan otak untuk berpikir) akan menghambat perkembangan bagian otak ini.

Lebih lanjut Dr. Hardiono memaparkan, hanya dari menonton televisi saja otak kehilangan kesempatan mendapat stimulasi dari kesempatan berpartisipasi aktif dalam hubungan sosial dengan orang lain, bermain kreatif dan memecahkan masalah. Selain itu tv bersifat satu arah, sehingga anak kehilangan kesempatan mengekplorasi dunia tiga dimensi serta kehilangan peluang tahapan perkembangan yang baik.



Adapun bentuk-bentuk suara atau pengucapan batita antara lain :

* Babbling

Sebagian anak di awal usia batita, melakukan babbling, yaitu mengeluarkan suara berupa satu suku kata, seperti "ma..." atau "ba.." Namun, itu masih belum bermakna. Jadi sekadar mengoceh atau bereksperimen. Sering-seringlah mengajaknya berkomunikasi, misal, "Adek mau main boneka ini?" Ucapkan hal itu dengan jelas sehingga lambat-laun anak dapat melakukan imitasi untuk dapat mengucapkan kata-kata yang jelas dan bisa dimaknai pula.

* Bahasa "planet"

Contoh, saat meminta sesuatu dia hanya menunjuk sambil mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti orang dewasa. Atau, Ia kemudian menggunakan bahasa tubuh, misalnya ketika masih ingin digendong, ia menarik ibunya sambil mengeluarkan suara tertentu yang maksudnya masih ingin digendong atau bermain dengan ibunya. Bahasa tubuh dijadikan bentuk komunikasi, misalnya ketika ia merasa haus, ia menunjuk atau mengambil gelas plastiknya sambil berkata, "Ma" atau kata lainnya yang belum bisa ditebak tapi maksudnya adalah ia ingin minum, misalnya. Untuk menghadapi hal ini, sebaiknya segera ketahui sesuatu yang dimaksud si kecil dengan cara menuju objek yang diinginkan.

* Sepotong-sepotong

Kemampuannya untuk menangkap, mencerna, dan mengeluarkan apa yang ingin diucapkan masih dalam tahap belajar. Wajar kalau pengucapan masih sering tersendat-sendat/ sepotong-sepotong, hanya pada bagian akhir kata. Misalnya, "minta" jadi "ta", minum jadi "num", dan lain-lain. Kita perlu meluruskan dengan mengucapkan berulang-ulang. Misal "Oh, Adek minta minum ya!"

* Sulit mengucapkan huruf/suku kata

Misalnya, kata mobil disebut "mobing". Atau toko jadi "toto" atau stasiun jadi "tatun". Pengucapan semacam ini, kan, jadi sulit ditangkap artinya. Biasanya kendala ini akan hilang dengan bertambah usia anak atau bila kita melatihnya dengan membiasakan menggunakan bahasa yang baik dan benar.

* Terbalik-balik

Contoh, maksud si kecil ingin mengatakan "Mau ikut ke pasar", tapi yang dia ucapkan, "pacang icut mau", dan sebagainya. Ini tentu saja membingungkan dan kadang sulit dipahami pihak yang diajak bicara. Tak perlu menyalahkan susunan kalimat si kecil karena bisa mengundangnya untuk terus mengulang yang salah. Jangan lupa, di usia ini, si kecil masih dalam masa negativistik sehingga senang membangkang. Sebaiknya coba luruskan dengan cara mengucapkan kalimat dengan susunan yang benar. "Oh, Adek mau ikut ke pasar, ya!" Lalu, berikan jawaban, "Adek boleh kok, ikut ke pasar."

* Cadel

Cadel bisa karena kelainan fisiologis, misalnya lidahnya pendek, tak punya anak tekak, atau langit-langitnya cekung. Untuk menanganinya tentu harus dikonsultasikan dengan dokter. Nah, yang sering terjadi adalah karena kurang/belum matangnya koordinasi bibir dan lidah. Biasanya "r" dibunyikan "l". Meski begitu, kecadelan tiap anak tidak sama persis.

Coba untuk meluruskan dengan cara memberi contoh mengucapkan yang benar. Tak perlu memaksakan anak harus langsung bisa karena belum saatnya ia bisa berucap dengan benar. Alih-alih berhasil, cara memaksa justru membuat si kecil stres. Ujung-ujungnya, malah tak mau berusaha meningkatkan kemampuan bicaranya. Tambah repot, kan? Akan tetapi, bila dibiarkan juga, mungkin anak akan terus berada dalam kecadelannya. Malah akhirnya akan makin sulit diluruskan.

* Salah makna kata/kalimat

Nah, meskipun si kecil sudah bisa mengucapkan kata-kata menjadi kalimat, namun masih sering terjadi salah makna. Tak jarang, rangkaian kalimat itu justru maknanya bisa beragam. Misal, "Ma, mau mamam cucu."

Hal seperti ini umumnya terjadi karena masih terbatasnya kemampuan si kecil untuk menggunakan kosakata yang ada dibenaknya menjadi sebuah kalimat seperti yang diinginkan. Untuk menghadapi hal ini, orangtua perlu meluruskan maksudnya, misalnya, "Oh, Adek mau makan?" Bila ternyata bukan itu maksudnya, coba bilang "Oh, Adek mau minum susu, ya!"

* Gagap

Gagap (stuttering) pada masa batita dianggap normal karena masih belajar mengembangkan keterampilan dan kemampuan bicara.

Paling banyak kegagapan ini terjadi di usia 18 bulan sampai kurang lebih 4 tahun. Misal, kata yang hendak diucapkan diulang-ulang, "Aku aku aku mau pipis." Atau anak sulit mengucapkan kata tertentu di awal atau di tengah, misalnya, "mmmmmama", "makkkkan."

Apa yang dapat memicu anak menjadi gagap?

  1. Kesulitan menemukan kata. Anak balita masih dalam tahap belajar untuk mengembangkan kata.  Sehingga mereka  kebingungan menemukan kata atau kalimat yang tepat untuk mengekspesikan perasaannya pada saat marah, senang dan sedih.
  2. Tekanan dari orang tua dan lingkungan. Perhatian yang berlebihan dari orang tua dan lingkungan karena cara bicara si anak yang gagap akan membuatnya semakin gugup dan kesulitan untuk keluar dari kebiasaan buruknya.
  3. Hukuman yang terlalu keras. Jika anak sering sekali dimarahi biasanya akan memudahkan mengalami kebiasaan ini.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani anak yang gagap dalam berbicara:

  1. Hindari kekesalan dan kekhawatiran. Bantu anak saat ia mencari kalimat yang tepat, jangan kesal dan memarahinya.
  2. Merespon maksudnya, bukan bicaranya. Tunggulah anak anda selesai bicara saat mengungkapkan sesuatu. Kemudian berikan tanggapan atas apa yang ia ceritakan, bukan tentang cara bicaranya.
  3. Posisi sejajar. Saat bicara dengan anak, biasakan dalam posisi sejajar, mata saling berhadapan, yang dapat dilakukan dengan cara jongkok atau berlutut. Hal ini memudahkan anak untuk bicara pada anda. Berikan perhatian pada apa yg ia utarakan.
  4. Lambat dan tenang. Ajaklah anak untuk berbicara lambat dan tenang untuk mengatasi kebiasaan gagapnya.
  5. Suasana yang nyaman. Ciptakan suasana yang nyaman dimanapun ia berada.
  6. Menjaga anak dari ejekan. Hindari untuk mengejek, memarahi dan memberikan julukan tertentu yang menunjukan kebiasaan ini atau membiarkan orang lain atau temannya menertawakannya.
  7. Jauhkan anak dari kondisi stress.



Gagap pada masa batita akan menghilang sendiri seiring dengan makin berkembangnya kemampuan berbicara. Akan tetapi, membiarkan anak dengan kegagapannya tidak juga dianjurkan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, di antaranya jangan "menginterupsi" saat ia terlihat gagap, hindari memaksa dia untuk mengulang kata-kata yang tak lancar diucapkan, jadilah role model bicara yang baik.

* Bicara kasar atau jorok

Tak jarang kita mendengar anak batita mengatakan kata kasar. Biasanya ditiru dari lingkungan bermain. Perlu perhatian orangtua agar si batita mengurangi pengucapan kata-kata tersebut dan tidak menjadikannya kebiasaan. Yang jelas, ia belum tahu arti dan maknanya secara pasti. Bilang bahwa maknanya tak baik jadi tak boleh diungkapkan pada orang lain.



Cara MENGATASI
Ada keterlambatan bicara yang masih bisa diupayakan untuk diatasi sendiri oleh orangtua, tapi ada juga yang harus melibatkan ahli.
* Keterlambatan yang bisa diatasi sendiri.
1. Menyebut nama-nama anggota tubuh. Misal, anak berdiri di depan kaca, tunjuk anggota tubuh yang dimaksud sambil menyebutkan namanya, "Ini tangan Mama, ini tangan Adek."
2. Ketika anak bicara tidak jelas tapi kita mengerti maksudnya, coba betulkan kata-katanya lalu minta ia bicara lebih jelas lagi, baru kemudian penuhi permintaannya. Contoh, si kecil minta susu tapi hanya menunjuk-nunjuk, orangtua bisa mengatakan, "Susu" atau "Mau susu, ayo bilang dulu."
3. Mengucapkan nama benda yang digunakan sehari-hari dengan cara terus mengulang-ulang dan memintanya mengikuti.
4. Ketika seharusnya anak sudah bisa mengucapkan 2-3 kata dalam satu kalimat tapi ia hanya mengucapkan satu kata, minta ia mengatakan dengan benar. Umpama, anak hanya mengatakan "ayam" untuk makan ayam goreng, berikan contoh bagaimana seharusnya, "Adek mau makan ayam gorengnya? Ayo bilang, makan ayam," dengan suara lebih keras dan minta ia mengulanginya.
5. Jika ada konsonan-konsonan yang masih sulit diucapkannya di usia 12-18 bulan, beri kesempatan untuk terus meng- ulanginya.
6. Sering-seringlah mengajak anak bicara. Sesekali keraskan suara atau pertegas intonasinya bila anak terlihat tak mengerti.
* Keterlambatan yang harus melibatkan ahli.
1. Sampai usia 12 bulan sama sekali belum bisa babbling.
2. Sampai usia 18 bulan belum ada kata pertama yang cukup jelas, padahal sudah dirangsang dengan berbagai cara.
3. Terlihat kesulitan mengucapkan beberapa konsonan.
4. Sepertinya tidak memahami kata-kata yang kita ucapkan.
5. Terlihat berusaha sangat keras untuk mengatakan sesuatu, misalnya sampai ngeces atau raut muka berubah.
TIP Untuk ORANGTUA
* Banyak-banyak mengajak anak bicara. Walaupun mereka sepertinya belum mengerti, tapi kata-kata tersebut akan diingatnya dan suatu saat akan diekspresikannya.
* Hati-hati dalam memilih kata di depan anak. Karena anak sangat mudah menyerap dan mengingat, jangan mengucapkan kata-kata kotor/umpatan.
* Supaya lebih mudah dimengerti, ajak anak ngobrol dalam suasana yang menyenangkan. Misal, ketika bicara tentang hujan, orangtua memperbolehkan anak menadahkan tangan untuk menampung air hujan sambil bercerita saat hujan seluruh tanaman akan basah. Bisa juga sambil menyanyikan lagu-lagu tentang hujan.
* Ketika bicara usahakan anak memang sedang menaruh perhatian. Apakah matanya sedang melihat ke arah kita/benda yang kita tunjukkan atau ke arah lain. Bila anak terlihat memerhatikan sesuatu, ajak ia bicara mengenai hal/benda yang sedang diperhatikannya itu.
* Berikan makanan padat sesuai usia anak untuk merangsang otot bicaranya.
* Jangan mudah menyerah untuk terus mengajaknya bicara.



sumber
e-psikologi.com
nakita
http://www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=144&Itemid=51

http://www.ibudananak.com/index.php?option=com_news&task=view&id=342&itemid=19
Sebelumnya: Menghadapi temper Tantrum/ Luapan Emosi Anak
Selanjutnya : PERAWATAN DAN PEMELIHARAAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT pada masa kehamilan

Senin, 18 April 2011

Ada - ada saja

Mengenali Diri Anda Dari Panjang Jari Tangan

Minggu, 27 Mei 2007
oleh Catshade
Diambil dari WikipediaPalmistri, atau ilmu membaca tangan, adalah salah satu ilmu semu (pseudoscience) yang masih cukup bertahan hingga abad modern ini. Asumsi dasarnya adalah adanya garis-garis tertentu di telapak tangan anda yang menggambarkan kepribadian anda dalam bidang-bidang tertentu. Sebagai contoh, garis yang dimulai dari bawah tengah telapak tangan dan kemudian berbelok ke sela antara jempol dan telunjuk (disebut life line) diyakini menggambarkan vitalitas, kekuatan, dan kesehatan si empunya tangan. Tidak hanya itu, palmistri juga mengasumsikan guratan-guratan itu dapat menandakan seperti apa masa depan anda. Garis yang disebutkan di atas tadi, misalnya, dipercaya dapat meramalkan perubahan-perubahan penting dalam hidup, seperti bencana atau kecelakaan.
Tentu pola pikir semacam ini tidak mendapat tempat dalam ilmu pengetahuan yang sesungguhnya. Namun, ilmu pengetahuan mengakui kalau dirinya tak sempurna; ia tetap terbuka pada pada perkembangan dan kemajuan baru selama telah melewati kaidah keilmuan yang benar. Termasuk soal palmistri ini: beberapa penelitian ilmiah telah menemukan bahwa memang ada hubungan antara tangan –jari tangan untuk lebih spesifiknya– dengan berbagai karakteristik pikiran dan kepribadian kita.

Dari Nilai Tes, Daya Tarik, Hingga Kecenderungan Homoseksual
Baru-baru ini, Yahoo!News (via LiveScience.com) mengutip temuan Mark Brosnan dari University of Bath, yang melihat hubungan antara perbedaan panjang jari telunjuk dan jari manis pada anak-anak sekolah dengan nilai SAT (Scholastic Assessment Test) mereka, sebuah tes kemampuan akademik yang umum digunakan di Inggris. Brosnan menemukan bahwa anak-anak yang memiliki jari manis yang lebih panjang dibandingkan jari telunjuk memiliki nilai matematika yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai bahasanya (menulis dan pemahaman bacaan). Sebaliknya, anak-anak dengan jari telunjuk yang lebih panjang pun nilai bahasanya lebih tinggi dibandingkan nilai matematikanya.
Ada lagi beberapa penelitian mengenai hal ini yang terkait dengan karakteristik laki-laki. LiveScience.com pada tahun 2005 melaporkan temuan University of Alberta mengenai perbedaan panjang jari manis versus telunjuk pada laki-laki yang terkait dengan agresivitas. Menurut Peter Hurd, penelitinya, semakin lebih panjang jari manis dibandingkan dengan telunjuk, semakin besar pula tingkat agresivitas yang dimiliki laki-laki yang menjadi subyek penelitian. Pada tahun yang sama, Hurd bersama rekannya Allison Bailey juga menemukan bahwa laki-laki yang perbedaan panjang jari telunjuk-manisnya kecil atau hampir tidak ada, lebih rentan terkena depresi. Tahun 2004, Roney dan Maestripieri meneliti mengenai perbedaan panjang jari ini pada laki-laki dan pengaruhnya pada interaksi sosial dengan perempuan. Hasilnya, laki-laki yang dinilai lebih menarik secara fisik dan dilihat lebih agresif melakukan PDKT (courtship behaviors) oleh perempuan ternyata cenderung memiliki perbedaan panjang jari telunjuk-manis yang lebih besar.
Terakhir, John T. Manning pada tahun 2002 menulis mengenai perbedaan ini dalam bukunya, Digit Ratio: A Pointer to Fertility and Human Health. Laki-laki yang perbedaan panjang jarinya besar cenderung lebih subur, lebih lama masa reproduktifnya, lebih agresif dan asertif, memiliki kemampuan musik dan olahraga yang lebih tinggi, namun juga lebih tinggi kecenderungannya memiliki orientasi homoseksual atau biseksual. Bagaimana dengan laki-laki yang perbedaan panjang jarinya kecil atau tidak ada? Jangan kuatir, anda hanya lebih rentan terkena penyakit jantung di masa muda. Hasil yang berlawanan ditemukan pada perempuan. Perempuan yang perbedaan panjang jarinya besar cenderung memiliki orientasi homoseksual atau biseksual serta lebih agresif dan asertif, sementara yang perbedaan panjang jarinya kecil atau tidak ada cenderung lebih subur, lebih lama masa reproduktifnya, namun berisiko lebih tinggi mengidap kanker payudara.
Sumber Biologis dan Signifikansinya
Kalau anda sekarang tidak bertanya-tanya mengenai apa hubungannya panjang jari tangan dengan semua ini, anda pasti sedang mencari-cari cara untuk memanjangkan atau memendekkan salah satu jari anda. Untuk itu, ada kabar buruk dan kabar baik buat anda. Kabar buruknya, perbedaan ini ditentukan ketika anda masih merupakan seonggok janin di trimester pertama kehidupan anda di dalam rahim, sehingga tidak ada satu halpun yang bisa anda lakukan untuk mengubahnya. Rupanya, hal ini terkait dengan paparan hormon-hormon seksual, yaitu androgen dan testosteron, pada janin. Hormon testosteron (yang dominan dimiliki laki-laki), ternyata, kemudian mempengaruhi perkembangan panjang jari manis, sementara hormon androgen (yang dominan dimiliki perempuan) mempengaruhi perkembangan panjang telunjuk.
Lalu apa kabar baiknya? Meskipun terdapat keterkaitan, namun secara statistik kaitan antara perbedaan panjang jari dengan hal-hal di atas tidak terlalu besar. Dari penelitian yang dilakukan Hurd (2005), misalnya, diketahui bahwa perbedaan panjang jari hanya menyumbang 5% terhadap agresivitas, sementara 95%-nya ditentukan faktor-faktor lain (di sisi lain juga harus dicatat, sumbangan 5% dari hal sesepele panjang jari tangan bisa dikatakan cukup lumayan juga). Selain itu, ternyata faktor ras kemungkinan juga mempengaruhi panjang jari tangan, sehingga penelitian-penelitian yang dilakukan di atas belum tentu menghasilkan temuan yang sama jika digunakan orang-orang Asia sebagai sampelnya. Karena itu, untuk saat ini sepertinya lebih baik jika anda belajar lebih tekun atau mengasah kemampuan komunikasi anda jika ingin sukses dalam ujian atau mencari pacar.
Sumber:
Kumpulan Tautan Penelitian Mengenai Tangan:

Selera musik............ bisa juga

Mengetahui Kepribadian dari Selera Musik Anda

Minggu, 7 September 2008
tags: ,
oleh Catshade
Entah sadar atau tidak, kita sering ‘memamerkan’ seperti apa diri kita melalui perilaku-perilaku yang bisa kita tampilkan di ruang publik: Gaya berpakaian yang kita kenakan, film yang kita tonton di bioskop, makanan yang kita santap di restoran, atau buku dan majalah yang kita baca. Bagaimana dengan musik yang kita dengar?
Profesor Adrian North dari Heriot-Watt University di Skotlandia meneliti hal ini dengan melakukan survei kepada lebih dari 36000 orang di berbagai belahan dunia mengenai kepribadian mereka dan preferensi mereka terhadap 104 genre musik yang berbeda. Sebagian hasilnya dapat anda baca dalam cuplikan berita dari Reuters yang saya tampilkan di bawah ini. Sayang tidak disebut-sebut mengenai musik dangdut atau musik daerah lainnya, tapi mungkin itu bisa disetarakan dengan musik country?
Saat ini, profesor North sedang membuat penelitian lanjutan mengenai hubungan antara selera musik dengan hubungan romantis anda. Tertarik untuk berpartisipasi? Silakan berkunjung ke situsnya (http://www.peopleintomusic.com/) dan mengisi kuesioner yang telah disediakan.

zOne Psikologi


Semua tentang pikiran dan perilaku manusia

10 ‘Kepribadian Ganda’ Orang-Orang Kreatif

Minggu, 14 September 2008
oleh Catshade
Beberapa orang kreatif itu memang juga sekaligus gila, tapi tentu tidak semuanya. Rasanya kita tahu beberapa kisah mengenai tokoh-tokoh kreatif yang sebenarnya baik-baik saja, tapi pada awal karirnya dikira kurang waras atau pada masa kecilnya malah dianggap agak idiot. Hingga kini, bahkan ekspresi kekaguman kita terhadap manusia semacam ini berbentuk gelengan kepala yang menunjukkan sejumput rasa tidak percaya dan tidak mengerti. Apa yang membuat kita sulit sekali untuk memahami mereka?
Menurut Mihaly Csikszentmihalyi, seorang pakar kreativitas yang telah 30 tahun meneliti kehidupan orang-orang kreatif, kesalahpahaman dalam menghadapi mereka sering timbul karena pada dasarnya individu yang kreatif memang memiliki kepribadian yang lebih kompleks dibanding orang lain. Jika kepribadian manusia biasa pada umumnya memiliki kecenderungan ke arah tertentu, maka kepribadian orang kreatif terdiri dari sifat-sifat berlawanan yang terus-menerus ‘bertarung’, tapi di sisi lain juga hidup berdampingan dalam satu tubuh. Apa saja sifat-sifat kontradiktif mereka?

Orang-orang kreatif memiliki tingkat energi yang tinggi, tapi mereka juga membutuhkan waktu lama untuk beristirahat. Mereka tahan berkonsentrasi dalam waktu yang lama tanpa merasa jenuh, lapar, atau gatal-gatal karena belum mandi. Tapi begitu sudah selesai, mereka juga bisa menghabiskan waktu berhari-hari untuk mengisi ulang tenaga mereka; Di mata orang luar, mereka jadi terlihat seperti orang termalas di dunia.
Orang-orang kreatif pada umumnya juga cerdas, tapi di sisi lain mereka tidak segan-segan untuk berpikir ala orang goblok dalam memandang persoalan. Ketimbang terpaku sejak awal pada satu macam penyelesaian (‘cara yang benar’), mereka memulai pemecahan masalah dengan berpikir divergen: Mengeluarkan sebanyak mungkin dan seberagam mungkin ide yang terpikir, tak peduli betapa bodoh kedengarannya.
Orang-orang kreatif adalah orang yang playful, tapi mereka juga penuh disiplin dan ketekunan. Tidak seperti dewasa lainnya yang melihat dunia dengan kacamata super-serius, orang-orang kreatif memandang bidang peminatan mereka seperti taman ria. Mereka melakukan pekerjaannya dengan begitu antusias sehingga terkesan seperti sedang bermain-main, padahal sebenarnya mereka juga bekerja keras mewujudkan ‘mainannya’.
Pikiran orang-orang kreatif selalu penuh imajinasi dan fantasi, tapi mereka juga tak lupa untuk tetap kembali ke realitas. Mereka mampu menelurkan ide-ide gila yang belum pernah tercetus oleh 6 milyar manusia lain, tapi yang membuat mereka bukan sekedar pemimpi di siang bolong adalah usaha mereka untuk menjembatani dunia khayalan mereka dengan kenyataan sehingga orang lain bisa ikut mengerti dan menikmatinya.
Orang-orang kreatif cenderung bersifat introvert dan ekstrovert. Pada kebanyakan orang lain, biasanya ada satu sifat yang cenderung lebih mendominasi perilakunya sehari-hari, tapi kedua sifat itu tampaknya muncul dalam porsi yang setara pada orang-orang kreatif. Mereka sangat menikmati baik pergaulan dengan orang lain (terutama dengan orang-orang kreatif lain yang sehobi) maupun kesendirian total ketika mengerjakan sesuatu.
Orang-orang kreatif biasanya rendah hati, namun juga bangga akan pencapaiannya. Mereka sadar bahwa ide-ide mereka tidak muncul begitu saja, melainkan hasil olahan inspirasi dan pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan dan tokoh-tokoh kreatif yang menjadi panutan mereka. Mereka juga terfokus pada rencana masa depan atau pekerjaan saat ini sehingga prestasi di masa lalu tidak sebegitu berartinya bagi mereka.
Orang-orang kreatif adalah androgini; Mereka mendobrak batas-batas yang kaku dari stereotipe gender mereka. Laki-laki yang kreatif biasanya lebih sensitif dan kurang agresif dibanding laki-laki lain yang tidak begitu kreatif, sementara perempuan yang kreatif juga lebih dominan dan ‘keras’ dibanding perempuan pada umumnya.
Orang-orang kreatif adalah pemberontak, tapi pada saat yang sama mereka tetap menghargai tradisi lama. Tentu sulit menyematkan nilai kreativitas pada sebuah teori atau karya yang tidak mengandung sesuatu yang baru, tapi orang-orang kreatif tidak ingin membuat sesuatu yang sekedar berbeda dari yang sudah ada; Ada unsur ‘perbaikan’ atau ‘peningkatan’ yang harus dipenuhi, dan itu hanya bisa dilakukan setelah orang-orang kreatif cukup memahami aturan-aturan dasarnya untuk bisa menerabasnya.
Orang-orang kreatif sangat bersemangat mendalami pekerjaannya, tapi mereka juga bisa sangat obyektif menilai hasilnya. Tanpa hasrat yang menggebu-gebu, mereka mungkin sudah menyerah sebelum sempat mewujudkan ide kreatif mereka yang sulit dinyatakan, tapi mereka juga tidak dapat menghasilkan sesuatu yang benar-benar hebat tanpa kemampuan untuk mengkritik diri dan karya sendiri habis-habisan.
Orang-orang kreatif pada umumnya lebih terbuka terhadap hal-hal baru dan sensitif pada lingkungan. Sifat ini menyenangkan mereka (karena mendukung proses kreatif), tapi juga membuat mereka sering gelisah -bahkan menderita. Sesuatu yang tidak beres di sekitar mereka, kritik dan cemooh terhadap hasil karya, atau pencapaian yang tidak dihargai sebagaimana mestinya, hal-hal ini mengganggu orang kreatif lebih dari orang biasa.
Sumber:

dEjA vU

Deja Vu dan Asal-Usulnya

Rabu, 1 Agustus 2007
oleh Catshade
Diambil dari xnet.kp.org via google imageHampir semua dari kita pernah mengalami apa yang dinamakan deja vu: sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Peristiwa ini bisa berupa sebuah tempat baru yang sedang dikunjungi, percakapan yang sedang dilakukan, atau sebuah acara TV yang sedang ditonton. Lebih anehnya lagi, kita juga seringkali tidak mampu untuk dapat benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah adanya sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.
Keanehan fenomena deja vu ini kemudian melahirkan beberapa teori metafisis yang mencoba menjelaskan sebab musababnya. Salah satunya adalah teori yang mengatakan bahwa deja vu sebenarnya berasal dari kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Bagaimana penjelasan ilmu psikologi sendiri?

Terkait dengan Umur dan Penyakit Degeneratif
Pada awalnya, beberapa ilmuwan beranggapan bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima oleh sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yang sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat. Teori yang dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini dipatahkan ketika pada bulan Desember tahun lalu ditemukan bahwa orang butapun bisa mengalami deja vu melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaannya.
Selain itu, sebelumnya Chris Moulin dari University of Leeds, Inggris, telah menemukan pula penderita deja vu kronis: orang-orang yang sering dapat menjelaskan secara rinci peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terjadi. Mereka merasa tidak perlu menonton TV karena merasa telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal belum), dan mereka bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati ‘penyakit’nya karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan hal-hal rinci selama kunjungannya! Alih-alih kesalahan persepsi atau delusi, para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak dan ingatan kita.
Baru-baru ini, sebuah eksperimen pada tikus mungkin dapat memberi pencerahan baru mengenai asal-usul deja vu yang sebenarnya. Susumu Tonegawa, seorang neuroscientist MIT, membiakkan sejumlah tikus yang tidak memiliki dentate gyrus, sebuah bagian kecil dari hippocampus, yang berfungsi normal. Bagian ini sebelumnya diketahui terkait dengan ingatan episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika menjumpai sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda visual, audio, bau, waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra untuk dicocokkan dengan ingatan episodik kita. Jika tidak ada yang cocok, situasi ini akan ‘didaftarkan’ sebagai pengalaman baru dan dicatat untuk pembandingan di masa depan.
Menurut Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama seperti manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa situasi. Namun, seperti yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate gyrus-nya tidak berfungsi normal kemudian mengalami kesulitan dalam membedakan dua situasi yang serupa tapi tak sama. Hal ini, tambahnya, dapat menjelaskan mengapa pengalaman akan deja vu meningkat seiring bertambahnya usia atau munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti Alzheimer: kehilangan atau rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat kedua hal tersebut membuat kita sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’ atau ‘lama’.
Menciptakan ‘Deja Vu’ dalam Laboratorium
Salah satu hal yang menyulitkan para peneliti dalam mengungkap misteri deja vu adalah kemunculan alamiahnya yang spontan dan tidak dapat diperkirakan. Seorang peneliti tidak dapat begitu saja meminta partisipan untuk datang dan ‘menyuruh’ mereka mengalami deja vu dalam kondisi lab yang steril. Deja vu pada umumnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk terus-menerus menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan berat. Selain itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan kemana-mana setiap saat bukanlah hal yang efisien dan efektif untuk dilakukan. Namun beberapa peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan yang mirip deja vu.
Seperti yang dilaporkan LiveScience, Kenneth Peller dari Northwestern University menemukan cara yang sederhana untuk membuat seseorang memiliki ‘ingatan palsu’. Para partisipan diperlihatkan sebuah gambar, namun mereka diminta untuk membayangkan sebuah gambar yang lain sama sekali dalam benak mereka. Setelah dilakukan beberapa kali, para partisipan ini kemudian diminta untuk memilih apakah suatu gambar tertentu benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan. Ternyata gambar-gambar yang hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim benar-benar mereka lihat. Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika secara kebetulan sebuah peristiwa yang dialami seseorang serupa atau mirip dengan gambaran yang pernah dibayangkan.
LiveScience juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan Chris Moulin dari University of Leeds dalam menciptakan sensasi deja vu melalui hipnosis. Para partisipan pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan daftar kata-kata. Kemudian mereka dihipnotis agar mereka ‘melupakan’ kata-kata tersebut. Ketika para partisipan ini ditunjukkan daftar kata-kata yang sama, setengah dari mereka melaporkan adanya sensasi yang serupa seperti dejavu, sementara separuhnya lagi sangat yakin bahwa yang mereka alami adalah benar-benar deja vu. Menurut mereka hal ini terjadi karena area otak yang terkait dengan familiaritas diganggu kerjanya oleh hipnosis.
Sumber:
Entri Wikipedia Mengenai Deja Vu (lihat juga beberapa tautan yang diberikan di sana untuk bacaan lebih lanjut)

Membaca Pikiraan Yuuuuk.........

Membaca Pikiran Orang Lain Dalam Kehidupan Sehari-hari

Selasa, 25 Desember 2007
tags:
oleh toso
Banyak anggapan bahwa membaca pikiran adalah pekerjaan seorang psikolog, paranormal atau bahkan dukun. Namun, percaya atau tidak, dalam kehidupan sehari-hari, anda semua adalah seorang pembaca pikiran. Sebab, tanpa kemampuan untuk mengetahui pikiran serta perasaan orang lain, kita semua tak akan mampu menghadapi situasi sosial semudah apapun. Dengan membaca pikiran, kita dapat membuat perkiraan tentang tingkah laku seseorang lalu membuat kita dapat menentukan keputusan berikutnya.
Jika kita melakukan pembacaan ini dengan buruk, dampaknya bisa serius: konflik bisa saja terjadi akibat kesalahpahaman. Contoh yang nyata kesulitan mengenali pikiran dan perasaan orang lain—mindblindness, dapat dilihat pada penyandang autisme, dimana ketidakmampuan tersebut menjadi suatu kondisi yang mengganggu.
Kemampuan membaca pikiran ini, yang oleh William Ickes—profesor psikologi di University of Texas, disebut sebagai emphatic accuracy.
Darimana asalnya?
Kemampuan (terbatas) kita untuk membaca pikiran menurut Ross Buck–profesor Communication Sciences di University of Connecticut, memiliki sejarah yang amat panjang. Dikatakannya bahwa, melalui jutaan tahun evolusi, sistem komunikasi manusia berkembang menjadi lebih rumit saat kehidupan juga menjadi lebih kompleks. Membaca pikiran lantas menjadi alat untuk menciptakan dan menjaga keteraturan sosial; seperti membantu mengetahui kapan harus menyetujui sebuah komitmen dengan pasangan atau melerai perselisihan dengan tetangga.
Kemampuan ini sendiri muncul sejak manusia dilahirkan. Bayi yang baru lahir lebih menyukai wajah seseorang dibandingkan stimulus lainnya, dan bayi berusia beberapa minggu sudah mampu menirukan ekspresi wajah. Dalam 2 bulan, bayi sudah dapat memahami dan berespon terhadap keadaan emosional dari pengasuhnya. Nancy Eisenberg, profesor psikologi di Arizona State University dan ahli dalam perkembangan emosional, menuturkan bahwa bayi berusia 1 tahun mampu mengamati ekspresi orang dewasa dan menggunakannya untuk menentukan tingkah laku berikutnya. Lanjutnya, bayi usia 2 tahun mampu menyimpulkan keinginan orang lain dari tatapan matanya, dan di usia 3 tahun, bayi dapat mengenali ekspresi wajah gembira, sedih atau marah. Saat menginjak usia 5 tahun, bayi sudah memiliki kemampuan dasar untuk membaca pikiran orang lain; mereka telah memiliki “teori pikiran.” Bayi tersebut mampu memahami bahwa orang lain memiliki pemikiran, perasaan dan kepercayaan yang berbeda dengan yang mereka miliki.
Anak-anak tadi mengembangkan kemampuan membaca pikiran dengan mengamati pembicaraan orang dewasa, dimana mereka membedakan kompleksitas aturan dan interaksi sosial. Selain itu, kegiatan bermain dengan teman sebaya juga dapat melatih anak untuk membaca pikiran anak lainnya. Namun, tak semua anak bisa mengembangkan kemampuan ini. Anak-anak yang mengalami penelantaran dan kekerasan cenderung mengalami hambatan dalam mengembangkan kemampuan membaca pikiran ini. Sebagai contoh, anak yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan, mungkin akan jauh lebih peka terhadap ekspresi marah, walaupun sesungguhnya emosi marah tidak muncul.
Lanjut lagi, kemampuan membaca pikiran yang lebih maju biasa muncul pada masa remaja akhir. Hal ini terjadi karena kemampuan untuk menyimpan perspektif dari beberapa orang di saat yang sama—dan lalu mengintegrasikannya dengan pengetahuan kita dan orang yang bersangkutan itu—seringkali membutuhkan kemampuan otak yang sudah jauh berkembang.
Bagaimana Membaca Pikiran?
Membaca bahasa tubuh adalah komponen inti dari membaca pikiran. Lewat bahasa tubuh, kita bisa mengetahui emosi dasar seseorang. Peneliti menemukan bahwa ketika seseorang mengamati gerak tubuh orang lain, mereka dapat mengenali emosi sedih, marah, gembira, takut dll, bahkan ketika pengamatan hanya dilakukan dengan pencahayaan yang minim.
Ekspresi wajah juga merupakan penanda bagi kita untuk dapat mengetahui apa yang dipikirkan orang lain. Namun sayangnya, banyak dari kita yang tidak mampu untuk mendeteksi ekpresi ini. Salah satu sumber yang kaya akan penanda ini adalah mata seseorang; otot-otot di sekitar mata. Mata seseorang adalah sumber penanda yang paling kaya jika dibandingkan bagian lain yang ada di wajah. Contohnya: mata yang turun ketika sedih, terbuka lebar ketika takut, terlihat tidak fokus kala sedang berkhayal, menatap tajam penuh kecemburuan, atau menatap sekitarnya ketika tidak sabar.
Kita dapat semakin tahu pikiran orang lain dari komponen-komponen dalam percakapan—kata-kata, gerak tubuh, dan nada suara. Namun diantara ketiganya, Ickes menemukan bahwa isi pembicaraan menjadi komponen terpenting dalam membaca pikiran dengan baik.
Menjadi Pembaca Pikiran Ulung
Lalu, bagaimana kita bisa menjadi seorang pembaca pikiran yang lebih baik? Tim dari Psychology Today telah merumuskan beberapa hal yang bisa membantu kita membaca pikiran.
Kenalilah orang lain. “Kemampuan membaca pikiran akan meningkat, semakin kita mengenal lawan bicara kita,” kata William Ickes. Jika kita berinteraksi dengan seseorang selama kurang lebih sebulan, kita akan lebih mudah untuk mengenali apa yang ia pikirkan dan rasakan. Hal tersebut dapat terjadi karena: kita mampu mengartikan kata-kata dan tidakan orang lain dengan lebih tepat, setelah mengamatinya dalam berbagai situasi; kedua, kita mengetahui apa yang terjadi dalam hidup mereka, dan mampu menggunakan pengetahuan itu untuk memahami mereka dalam konteks yang lebih luas.
Minta umpan balik. Penelitian menunjukkan bahwa kita dapat meningkatkan kemampuan membaca dengan cara menanyakan kebenaran dari tebakan kita. Misalnya, “Saya mendengar, sepertinya Engkau sedang marah. Benar tidak?”
Perhatikan bagian atas dari wajah. Emosi yang palsu, biasanya diungkapkan pada bagian bawah wajah seseorang. Sedangkan, menurut Calin Prodan—profesor neurologi di University of Oklahoma Health Sciences Center, emosi utama bisa dilihat dari sebagian ke atas wajah, biasanya di sekitar mata.
Lebih ekspresif. Ekspresivitas emosi cenderung timbal balik. Ross Buck, “semakin kita ekspresif, semakin banyak pula kita akan mendapat informasi mengenai kondisi emosional dari orang lain di sekitar kita.”

Santai. Menurut Lavinia Plonka, pengarang Walking Your Talk, seseorang cenderung “menyamakan diri” dengan lawan bicaranya melalui postur tubuh dan pola napas. Jika anda merasa tegang, teman bicara anda bisa saja, secara tak sadar, menjadi tegang pula lalu terhambat, dan akhirnya menjadi sulit untuk dibaca. Ambillah napas panjang, senyumlah, dan coba untuk menampilkan keterbukaan dan penerimaan kepada siapapun yang bersama anda.
Tinjauan Kritis
Perlu kita ingat, bahwa ekspresi emosi bisa berbeda di berbagai budaya. Ekspresi sedih di satu budaya, bisa jadi diinterpretasikan sebagai emosi lain di budaya lain. Jadi jika ingin membaca seseorang, kita perlu memperhatikan pula unsur budaya yang berlaku di tempat tinggal orang itu, jangan sampai salah menebak, atau bahkan memicu terjadinya kesalahpahaman.
Kita juga tak bisa mengesampingkan fenomena membaca pikiran ini sebagai sebuah fenomena yang biasa diasosisasikan dengan kemampuan supranatural, sebab percaya tidak percaya, memang ada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk membaca pikiran yang sulit dijelaskan ilmu pengetahuan. Setidaknya penulis telah menemukan beberapa orang dengan kemampuan membaca pikiran, yang bahkan mampu melihat masa depan dan berbagai macam hal yang sulit diterima nalar.
Sumber Pustaka
Mind Reading – Psychology Today
How To Be a Better Mind Reader – Psychology Today

9 TIPE KEPRIBADIAN

Mengenal 9 Tipe Kepribadian Manusia Dengan Lebih Asyik

Sabtu, 16 Juni 2007
tags:
oleh toso
Enneagram * Judul : Eneagram
* Jenis : Psikologi Kepribadian Populer
* Pengarang : Renee Baron dan Elizabeth Wagele
* Penerbit : PT Serambi Ilmu Semesta
* Tahun Terbit : Desember 2005
* Halaman : 180
* Harga : Rp. 29.900,-
Kepribadian manusia selalu menjadi tema yang menarik untuk dicari tahu, apalagi kepribadian kita sendiri. Rasa ingin tahu tersebutlah yang lantas membuat banyak orang pergi ke psikolog untuk menjalani tes-tes kepribadian. Semua ini dilakukan demi mengetahui “seperti apa sesungguhnya diri kita ini?”
Enneagram
Selain dengan mengikuti tes-tes psikologi, ada satu metode yang bisa digunakan untuk mengetahui kepribadian yaitu menggunakan enneagram. Enneagram diartikan sebagai “sebuah gambar bertitik sembilan”. Metode ini dikabarkan telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan diajarkan secara lisan dalam suatu kelompok sufi di Timur Tengah, hingga akhirnya mulai berkembang di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an. Kepribadian manusia dalam sistem enneagram, terbagi menjadi 9 tipe. Renee Baron dan Elizabeth Wagele, lewat buku yang berjudul enneagram, berusaha untuk menjelaskan kesembilan tipe tersebut agar lebih mudah dimengerti.
Sembilan Tipe Kepribadian Manusia
Kesembilan tipe kepribadian tersebut adalah :
Tipe 1 perfeksionis
Orang dengan tipe ini termotivasi oleh kebutuhan untuk hidup dengan benar, memperbaiki diri sendiri dan orang lain dan menghindari marah.
Tipe 2 penolong
Tipe kedua dimotivasi oleh kebutuhan untuk dicintai dan dihargai, mengekspresikan perasaan positif pada orang lain, dan menghindari kesan membutuhkan.
Tipe 3 pengejar prestasi
Para pengejar prestasi termotivasi oleh kebutuhan untuk menjadi orang yang produktif, meraih kesuksesan, dan terhindar dari kegagalan.
Tipe 4 romantis
Orang tipe romantis termotivasi oleh kebutuhan untuk memahami perasaan diri sendiri serta dipahami orang lain, menemukan makna hidup, dan menghindari citra diri yang biasa-biasa saja.
Tipe 5 pengamat
Orang tipe ini termotivasi oleh kebutuhan untuk mengetahui segala sesuatu dan alam semesta, merasa cukup dengan diri sendiri dan menjaga jarak, serta menghindari kesan bodoh atau tidak memiliki jawaban.
Tipe 6 pencemas
Orang tipe 6 termotivasi oleh kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan, merasa diperhatikan, dan terhindar dari kesan pemberontak.
Tipe 7 petualang
Tipe 7 termotivasi oleh kebutuhan untuk merasa bahagia serta merencanakan hal-hal menyenangkan, memberi sumbangsih pada dunia, dan terhindar dari derita dan dukacita.
Tipe 8 pejuang
Tipe pejuang termotivasi oleh kebutuhan untuk dapat mengandalkan diri sendiri, kuat, memberi pengaruh pada dunia, dan terhindar dari kesan lemah.
Tipe 9 pendamai
Para pendamai dimotivasi oleh kebutuhan untuk menjaga kedamaian, menyatu dengan orang lain dan menghindari konflik.
Panah dan Sayap
panah dan sayap dalam enneagram Setiap tipe pada enneagram berhubungan langsung dengan 2 tipe lainnya yang disebut sebagai panah. Tipe 1 berhubungan dengan tipe 7 dan 4, tipe 2 dengan tipe 8 dan 4, dst (lihat gambar). Dinamika hubungan antar tipe ini terjadi sebagai berikut : jika dalam keadaan rileks tipe 1 akan mengambil karakter positif dari tipe 7, dan jika dalam keadaan tertekan akan mengambil karakter negatif dari panah sebaliknya, yaitu tipe 4. Sebagai contoh, tipe 1 yang mengambil sisi positif tipe 7 tidak akan terlalu mengkritik diri serta lebih menerima diri, lebih antusias dan optimis, bertindak lebih alami dan spontan. Sedangkan jika sedang tertekan akan mengarahkan kemarahan ke dalam diri sendiri lalu menjadi depresi, hilang kepercayaan diri, dan menginginkan apa yang tidak mereka miliki. Contoh lain, tipe 2 yang sedang rileks, akan mengambil karakter positif dari tipe 4, dan jika sedang tertekan akan mengambil karakter tipe 8. Dan begitu seterusnya dinamika hubungan pada tipe-tipe lainnya.
Selain panah, kepribadian kita dapat tercampur atau terpengaruhi oleh tipe di kanan dan kiri kita. Tipe di kanan dan kiri kita ini disebut dengan sayap. Contohnya, tipe 1 dengan sayap 2 yang lebih kuat, cenderung hangat, lebih suka menolong, mengkritik dan menguasai. Sedangkan tipe 1 dengan sayap 9 lebih kuat, cenderung lebih tenang, lebih santai, objektif dan menjaga jarak.
Tipe-tipe Enneagram dan Myers-Briggs Type Indicator
Bagian akhir buku Enneagram ini berisi penjelasan tentang tipe-tipe kepribadian yang sudah diakui, yaitu Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) dan kecocokannya dengan tipe-tipe dalam enneagram. MBTI sendiri adalah suatu inventori kepribadian yang berlandaskan pemikiran dari Carl Gustav Jung, seorang psikiater asal Swiss. Inventori ini mengukur kecenderungan individu berdasarkan empat skala : ekstraversion atau introversion, sensing atau intuition, thinking atau feeling, serta judging atau perceiving. Terakhir, terdapat tabel hubungan antara sistem dalam enneagram dan MBTI.
Komentar
Ada beberapa hal yang membuat buku ini menjadi menarik untuk dibaca, seperti :
1. Buku berjudul The Enneagram Made Easy terbitan Harper San Fransisco ini, diterjemahkan dengan cukup baik sehingga tidak menyulitkan pembaca dalam memahami isinya. Walau kadang masih terdapat kesalahan dalam pengetikannya.
2. Banyak sekali ilustrasi menarik, baik penjelasan masing-masing tipe maupun perbandingan antara satu tipe dengan tipe lainnya. Tak jarang ilustrasi tersebut berisi lelucon yang mampu menciptakan suasana menyenangkan ketika membaca buku ini.
ilustrasi Enneagram
3. Di awal penjelasan tipe, ada 20 butir pernyataan yang menggambarkan tipe kepribadian tersebut. Pembaca dapat memberi ceklis pada karakteristik yang menggambarkan kepribadiannya. Pernyataan ini dapat membantu pembaca untuk menemukan tipe kepribadiannya dalam enneagram.
4. Penjelasan masing-masing tipe juga cukup banyak ragamnya, mulai dari karakter positif dan negatif tiap tipe, cara bergaul, komentar orang-orang sekitar, hingga saran dan latihan yang tepat untuk tiap tipe.
Namun, ada beberapa hal yang kurang dari buku ini, seperti :
1. Tidak jelas apakah kedua puluh pernyataan yang ada di tiap tipe, didapat menggunakan metode penyusunan alat tes yang baik, sehingga memang benar-benar mampu menggambarkan tiap tipe dengan tepat.
2. Penjelasan tentang tiga pusat dalam tubuh; jantung, perut dan kepala, dirasa kurang memadai, sehingga tidak terlalu memberikan pemahaman yang lebih terhadap kepribadian manusia.
3. Perbandingan antara tipe-tipe dalam enneagram dengan tipe-tipe jungian (MBTI) dirasa agak janggal. Ada kesan bahwa tipe-tipe jungian memang ‘ditempel’ agar pembaca semakin percaya dengan tipe-tipe dalam enneagram, sebab tipe-tipe jungian sudah ada, digunakan dan diakui secara luas sejak lama.
4. Tabel perbandingan sistem dalam enneagram dan MBTI tidak disertai penjelasan, sehingga menyulitkan pembaca untuk memahami arti tabel tersebut.
5. Sampul buku asli The Ennegram Made Easy lebih menarik untuk dilihat daripada sampul buku versi indonesia yang terlalu ‘gelap’.

Kesimpulan dari saya, buku ini cocok bagi pembaca yang ingin mengenali kepribadiannya, namun tidak ingin membaca buku psikologi tentang teori kepribadian. Sebab sesuai dengan slogannya, buku ini memang bisa membantu mengenali kepribadian kita dengan cara yang lebih asyik.

Kamis, 24 Maret 2011

KODE ETIK PSIKOLOGI

Jakarta,  17 Februari  2010
No.:  034/K-XI/PP-Himpsi/II/10

Kepada Yth
Ketua Himpsi Wilayah
(daftar terlampir)
Di tempat.

Hal :  Pengiriman Bahan Kongres XI Himpsi

Dengan Hormat,

Menindaklanjuti surat kami No. 001/K-XI/PP-Himpsi/I/10 tertanggal 20 Januari 2010 tentang Undangan dan Pemberitahuan Temu Ilmiah Nasional & Kongres XI Himpsi yang berisi AD/ART dan Tata Tertib Sidang Organisasi Kongres XI Himpsi, dengan ini kami kirimkan Bahan Kongres 1 set Kode Etik Psikologi Indonesia sebagaimana yang telah disampaikan dalam surat tersebut diatas.

Adapun berkas lainnya berupa Laporan Pertanggung Jawaban Ketua Umum PP Himpsi  akan kami kirimkan 2 (dua) minggu sebelum kongres.

Kami juga masih menunggu laporan iuran anggota dari semua wilayah, agar memudahkan dalam mencocokan data yang ada pada rekening kami.

Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.



Hormat kami,
Panitia
Temu Ilmiah Nasional & Kongres XI Himpsi di Surakarta





Dra. Retno Suhapti, SU, MA, Psikolog
Penanggung Jawab

Lamp./






Lampiran No: 034/K-XI/PP-Himpsi/II/10
Ketua Himpsi Wilayah:

1.   Nanggroe Aceh Darussalam             
Sumatera Utara
Sumatera Selatan
Sumatera Barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Bengkulu
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
13  Jawa Timur
14. Bali
15. Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Timur
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Banten
Sulawesi Tenggara
Papua


Kode Etik Psikologi Indonesia

DAFTAR ISI                                                                                                                 1

PENGANTAR                                                                                                              4

MUKADIMAH                                                                                                               5

BAB   I       Pedoman Umum
      Pasal   1    Pengertian                                                                               6
      Pasal   2    Prinsip Umum                                                                         7

BAB   II      MENGATASI ISU ETIKA
                  Pasal   3    Majelis Psikologi Indonesia                                                     9
                  Pasal   4    Penyalahgunaan pekerjaan di bidang Psikologi                     10
                  Pasal   5    Penyelesaian Isu Etika                                                            11
                  Pasal   6    Diskriminasi yang tidak Adil terhadap Keluhan dan                12
                                    Responden

BAB   III     KOMPETENSI
                   Pasal   7    Ruang lingkup Kompetensi                                                     12
                   Pasal   8    Peningkatan Kompetensi                                                        13
                   Pasal   9    Dasar Penelitian Ilmiah dan Sikap Profesional                       13
                   Pasal   10 Pendelegasian pekerjaan Pada orang lain                             13
                   Pasal   11 Masalah dan Konflik Personal                                                13
                   Pasal   12 Pemberian layanan Psikologi Dalam Keadaan Darurat         14

BAB   IV     HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
                   Pasal   13 Sikap profesional                                                                    14
                   Pasal   14 Pelecehan                                                                               15
                   Pasal   15 Penghindaran Dampak Buruk                                                15
                   Pasal   16 Hubungan Majemuk                                                                15
                   Pasal   17 Konflik Kepentingan                                                                16
                   Pasal   18 Eksploitasi                                                                               16
                   Pasal   19 Hubungan Profesional                                                            17
                   Pasal   20 Informed Consent                                                                   18
                   Pasal   21 Pelayanan Psikologi kepada atau melalui Organisasi            18
                   Pasal   22 Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi                    19

BAB   V     KERAHASIAAN REKAM DAN HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGI
                   Pasal   23 Rekam Psikologi                                                                     19
                   Pasal   24 Mempertahankan Kerahasiaan Data                                      20
                   Pasal   25 Mendiskusikan Batasan Kerahasiaan Data kepada               21
                                    Pengguna Jasa dan atau Praktik Psikologi
                   Pasal   26 Pengungkapan Kerahasiaan Data                                          22
                   Pasal   27 Pemanfaatan Informasi dan Hasil Pemeriksaan                    22
                                    Psikologi untuk Tujuan Pendidikan atau Tujuan Lain



BAB   VI     IKLAN DAN PERNYATAAN PUBLIK
                   Pasal   28 Pertanggungjawaban                                                              23
                   Pasal   29 Keterlibatan Pihak lain Terkait pernyataan Publik                   24
                   Pasal   30 Deskripsi Program Pelatihan dan Pendidikan                        24
                                    Non Gelar
                   Pasal   31 Pernyataan Melalui Media                                                       25
                   Pasal   32 Iklan Diri yang berlebihan                                                        25

BAB   VII    BIAYA JASA DAN PRAKTIK PSIKOLOGI
                   Pasal   33 Penjelasan Biaya dan Batasan                                               25
                   Pasal   34 Rujukan dan Biaya                                                                  26                    Pasal   35            Keakuratan Data dan Laporan kepada Pembayar                                           26
                                    atau Sumber Dana
                   Pasal   36 Pertukaran/ Barter                                                                  26

BAB   VIII   PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
                   Pasal   37 Rancangan dan Penjabaran Program                                    27
                   Pasal   38 Keakuratan dalam Pengajaran                                               27
                   Pasal   39 Pengungkapan Informasi Pribadi Peserta Penidikan             27
                                    dan Pelatihan
                   Pasal   40 Kewajiban Peserta Pendidikan dan Pelatihan untuk              28
                                    mengikuti Program Pendidikan Terapi yang disyaratkan      
                  Pasal   41 Penilaian Kinerja Peserta Pendidikan dan pelatihan              28
                                    atau Bawahan
                  Pasal   42 KeakrabanSeksual dengan Peserta Pedidikan dan               28
                                    Pelatihan atau Orang yang di Supervisi

BAB   IX     PENELITIAN DAN PUBLIKASI
                   Pasal   43 Pedoman umum                                                                     29
                   Pasal   44 Aturan dan Izin Penelitian                                                       29
                   Pasal   45 Partisipan Penelitian                                                               30
                   Pasal   46 Informed Consent dalam Penelitian                                       30
                   Pasal   47 Pengelabuan/Manipulasi dalam Penelitian                             32
                   Pasal   48 Penjelasan Singkat /Debriefing                                               32
                   Pasal   49 Penggunaan Hewan untuk Penelitian                                     32
                   Pasal   50 Pelaporan dan Publikasi Hasil Penelitian                               33
                   Pasal   51 Berbagi Data untuk Kepentingan Profesional                         34
                   Pasal   52 Penghargaan dan Pemanfaatan Karya Cipta                         34
                                    Pihak Lain

BAB   X     PEKERJAAN DAN PENELITIAN DI BIDANG FORENSIK
                   Pasal   53 Aturan Hukum Nasional dan Komitmen terhadap                  35
                                    Kode Etik
                   Pasal   54 Kompetensi dan Kewenangan                                               35
                   Pasal   55 Pernyataan Sebagai saksi Ahli/Testimoni                              35
                   Pasal   56 Peran Majemuk dan Profesional Ilmuwan Psikologi               36
                                    dan atau Psikolog

BAB   XI     ASESMEN
                   Pasal   57 Dasar Asesmen                                                                      37
                   Pasal   58 Penggunaan Asesmen                                                           38
                   Pasal   59 Informed Consent dalam Asesmen                                       39
      Pasal   60 Interpretasi Hasil Asesmen                                                     39
      Pasal   61 Penyampaian Data dan Hasil Asesmen                                 40
      Pasal   62 Menjaga Alat, Data dan Hasil Asesmen                                 40


BAB   XII TERAPI
                   Pasal   63 Kualifikasi Terapis                                                                   40
                   Pasal   64 Informed Consent dalam Terapi                                             41
                   Pasal   65 Terapi yang melibatkan Pasangan atau Keluarga                  42
                   Pasal   66 Terapi Kelompok                                                                     42
                   Pasal   67 Pemberian Terapi bagi yang telah menjalani Terapi              42 sebelumnya
                   Pasal   68 Pemberian Terapi kepada mereka yang pernah terlibat        42 Keintiman/Keakraban Seksual
      Pasal   69 Penghentian Sementara Terapi                                              43
      Pasal   70 Penghentian Terapi                                                                 43

Penutup                                                                                                                    43                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          


PENGANTAR

Kode Etik Psikologi Indonesia merupakan ketentuan tertulis yang diharapkan menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku, serta pegangan teguh seluruh Psikolog dan kelompok Ilmuwan Psikologi, dalam menjalankan aktivitas profesinya sesuai dengan kompetensi dan kewenangan masing-masing, guna menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera.
            Peneguhan otoritas profesi Psikologi, dibangun atas dasar keahlian di bidang Psikologi, yang menjadi bingkai pembatas terhadap pengaruh otoritas dari komunitas di luar psikologi, dalam menetapkan kaidah-kaidah nilai yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis umat manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Melalui peneguhan kekuasaan itulah, maka akan didapatkan pengakuan atas profesi dan keahlian pada bidang psikologi, yang membatasi campur tangan pihak-pihak di luar disiplin ilmu Psikologi. Konsekuensinya akan menjadikan komunitas psikologi sebagai kalangan yang eksklusif dan otonom, dalam menetapkan ukuran-ukuran nilai untuk mewujudkan kesejahteraan psikologis bagi umat manusia. Guna menghindari penyimpangan sebagai akibat dari peneguhan kekuasaan profesi, maka Psikolog dan Kelompok Ilmuwan Psikologi harus memiliki tanggungjawab khusus yang mewajibkan mereka bertindak demi kesejahteraan dan kepentingan pengguna jasa dan atau praktik psikologi. Tanggung jawab khusus inilah yang dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan Kode Etik Psikologi Indonesia.
            Keberadaan kode etik ini merupakan hasil refleksi etis yang selalu lentur dalam mengakomodasikan dan beradaptasi terhadap dinamika kehidupan masyarakat, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya selalu mengacu pada kemutakhiran.
            Agar kepercayaan masyarakat semakin menguat dalam menghargai profesi psikologi, maka diperlukan kepastian jaminan perwujudan dari upaya meningkatkan kesejahteraan psikologi bagi seluruh umat manusia, yang tata nilainya dibuat oleh komunitas psikologi.
            Untuk maksud dan tujuan di atas, maka Himpunan Psikologi Indonesia sebagai satu-satunya wadah komunitas psikologi di Indonesia, telah menghimpun nilai-nilai moral yang hakiki dalam bentuk Kode Etik Psikologi Indonesia yang difungsikan sebagai standar pengaturan diri (self regulation) bagi Psikolog dan Ilmuwan Psikologi, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
            Kode Etik Psikologi Indonesia, pada hakekatnya merupakan kristalisasi dari nilai moral yang bersifat universal, sehingga penyusunannya juga memperhatikan kesepakatan Internasional. Oleh karena itu, kandungan sistematika Kode Etik ini  mengadopsi kaidah-kaidah Kode Etik Organisasi Psikologi dari beberapa Negara. 












        MUKADIMAH

            Kode Etik Psikologi merupakan hasil nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dilin Pendidikan Tinggi  telah menghasilkan Psikolog dan Ilmuwan Psikologi, yang senantiasa menghargai dan menghormati harkat maupun martabat manusia serta menjunjung tinggi terpeliharanya hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, Psikolog dan Ilmuwan Psikologi selalu melandaskan diri pada nilai-nilai tersebut dalam kegiatannya pada  bidang pendidikan, penelitian, pengabdian diri serta pelayanan dalam  rangka meningkatkan pengetahuan tentang perilaku manusia, baik dalam bentuk pemahaman bagi dirinya maupun pihak lain, serta memanfaatkan pengetahuan dan kompetensinya bagi kesejahteraan umat manusia.
            Kenyataan yang seperti itu, telah menuntut kesadaran dan tanggungjawab bagi Psikolog dan Ilmuwan Psikologi untuk selalu berupaya menjamin kesejahteraan umat manusia dan memberikan perlindungan kepada masyarakat pengguna jasa dan praktik psikologi, serta semua pihak yang terkait dengan jasa dan praktik psikologi atau pihak yang menjadi objek dari studinya.
            Pengetahuan, kompetensi, ketrampilan dan pengalaman  yang dimiliki Psikolog dan Ilmuwan Psikologi, hendaknya hanya digunakan bagi tujuan yang mendasarkan pada prinsip yang taat asas dan nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 serta nilai-nilai kemanusiaan pada umumnya, dengan disertai upaya-upaya untuk mencegah penyalahgunaan yang dilakukan oleh komunitas psikologi dan pihak lain.
            Tuntutan kebebasan dalam menyelidiki dan mengkomunikasikan hasil kegiatan di bidang penelitian, pengajaran, pelatihan, jasa dan praktik psikologi, maka hasil konsultasi dan publikasinya harus dapat dipahami oleh Psikolog dan Ilmuwan Psikologi dengan penuh tanggung jawab.
Kompetensi dan obyektivitas dalam menerapkan kemampuan profesional sesuai dengan bidangnya sangat terikat dan memperhatikan pemakai jasa, rekan sejawat serta masyarakat pada umumnya.
            Pokok-pokok pemikiran tersebut, selanjutnya dirumuskan menjadi KODE ETIK PSIKOLOGI INDONESIA, sebagai perangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam melakukan kegiatan selaku Psikolog dan Imuwan Psikologi di Indonesia.
           
















BAB  I
PEDOMAN  UMUM
  
Pasal  1
PENGERTIAN

1.      KODE ETIK PSIKOLOGI adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai psikolog dan ilmuwan psikologi di Indonesia.

2.      PSIKOLOGI merupakan ilmu yang berfokus pada perilaku dan proses mental yang melatarbelakangi, serta penerapan dalam kehidupan manusia. Ahli dalam ilmu Psikologi dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu profesi atau yang berkaitan dengan praktik psikologi dan ilmu psikologi termasuk dalam hal ini ilmu murni atau terapan.

3.      PSIKOLOG adalah lulusan pendidikan profesional yang berkaitan dengan praktik psikologi dengan latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan program pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem kurikukum lama atau yang mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari pendidikan profesi psikologi atau strata 2 (S2) pendidikan Psikolog. Psikolog memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang praktek klinis dan konseling; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling karir dan pendidikan; konsultasi organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; dan administrasi. Psikolog DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4.      ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi dengan latar belakang pendidikan strata 1 dan atau strata 2 dan atau strata 3 dalam bidang psikologi. Ilmuwan psikologi memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi sosial; pengembangan instrumen asesmen psikologi; pengadministrasian asesmen; konsultasi organisasi; perancangan dan evaluasi program. Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam kelompok ilmu murni (sains) dan terapan.   

5.      LAYANAN PSIKOLOGI adalah segala aktifitas pemberian jasa dan praktek psikologi dalam rangka menolong individu dan atau kelompok yang dimaksudkan untuk pencegahan, pengembangan dan penyelesaian masalah-masalah psikologis. Layanan psikologi dapat berupa praktek konseling dan psikoterapi; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling karir dan pendidikan; konsultasi organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; dan administrasi.



         Pasal  2
     PRINSIP UMUM

Prinsip A  : Penghormatan pada Harkat Martabat Manusia

(1)               Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus menekankan pada hak asasi manusia dalam melaksanakan pelayanan psikologi.

(2)               Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menghormati martabat setiap orang serta hak-hak individu akan keleluasaan pribadi, kerahasiaan dan pilihan pribadi seseorang.

(3)               Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa diperlukan kehati-hatian khusus untuk melindungi hak dan kesejahteraan individu atau komunitas yang karena keterbatasan yang ada dapat mempengaruhi otonomi dalam pengambilan keputusan.

(4)               Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menyadari dan menghormati perbedaan budaya, individu dan peran, termasuk usia, gender, identitas gender, ras, suku bangsa, budaya, asal kebangsaan, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), bahasa dan status sosial-ekonomi, serta mempertimbangkan faktor-faktor tersebut pada saat bekerja dengan orang-orang dari kelompok tersebut.

(5)               Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berusaha untuk menghilangkan pengaruh bias faktor-faktor tersebut pada butir (3) dan menghindari keterlibatan baik yang disadari maupun tidak disadari dalam aktifitas-aktifitas yang didasari oleh prasangka.


Prinsip B:  Integritas dan Sikap Ilmiah

(1)               Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus mendasarkan pada dasar dan etika ilmiah terutama pada pengetahuan yang sudah diyakini kebenarannya oleh komunitas psikologi.

(2)               Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi senantiasa menjaga ketepatan, kejujuran, kebenaran dalam keilmuan, pengajaran, pengamalan dan praktik psikologi.

(3)               Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak mencuri, berbohong, terlibat pemalsuan (fraud), tipuan atau distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja memberikan fakta-fakta yang tidak benar.

(4)               Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berupaya untuk menepati janji tetapi dapat mengambil keputusan tidak mengungkap fakta secara utuh atau lengkap HANYA dalam situasi dimana tidak diungkapkannya fakta secara etis dapat dipertanggungjawabkan untuk meminimalkan dampak buruk bagi pengguna jasa atau praktik psikologi.

(5)               Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan kebutuhan, konsekuensi dan bertanggung jawab untuk memperbaiki ketidak-percayaan atau akibat buruk yang muncul dari penggunaan teknik psikologi yang digunakan.


Prinsip C  : Profesional

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus memiliki kompetensi dalam melaksanakan segala bentuk pelayanan psikologi, penelitian, pengajaran, pelatihan, jasa dan praktik psikologi dengan menekankan pada tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan integritas.

 Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi membangun hubungan yang didasarkan pada adanya saling percaya, menyadari tanggungjawab profesional dan ilmiah terhadap pengguna layanan psikologi serta komunitas khusus lainnya.

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban profesional, mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakan mereka, berupaya untuk mengelola berbagai konflik kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak buruk.

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi, bekerjasama dan atau merujuk pada teman sejawat, profesional lain dan atau institusi-institusi lain untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pengguna layanan psikologi.

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi perlu mempertimbangkan dan memperhatikan kepatuhan etis dan profesional kolega-kolega dan atau profesi lain.

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam situasi tertentu bersedia untuk menyumbangkan sebagian waktu profesionalnya tanpa atau dengan sedikit kompensasi keuntungan pribadi.


Prinsip D  :  Keadilan

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memahami bahwa kejujuran dan ketidakberpihakan adalah hak setiap orang. Oleh karena itu, pengguna jasa dan atau praktik psikologi tanpa dibedakan oleh latarbelakang dan karakteristik khususnya, harus mendapatkan layanan dan memperoleh keuntungan dalam kualitas yang setara dalam hal proses, prosedur dan layanan yang dilakukan.

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menggunakan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan secara profesional, waspada dalam memastikan kemungkinan bias-bias yang muncul, mempertimbangkan batas dari kompetensi, dan keterbatasan keahlian sehingga tidak mengabaikan atau mengarah kepada praktik-praktik yang menjamin ketidakberpihakan.


             Prinsip E  :  Manfaat

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berusaha maksimal memberikan manfaat pada kesejahteraan umat manusia, perlindungan hak dan mempertimbangkan mengurangi resiko dampak buruk tidak mengakibatkan dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait.

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi apabila terjadi konflik perlu menghindari serta meminimalkan akibat atau dampak buruk; karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak-pihak lain.

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi perlu waspada terhadap kemungkinan adanya faktor-faktor pribadi, keuangan, sosial, organisasi maupun politik yang mengarah pada penyalahgunaan atas pengaruh mereka.



BAB II 
MENGATASI ISU ETIKA
                                                                                            
Pasal 3
    MAJELIS PSIKOLOGI INDONESIA 
     
(1)               Majelis Psikologi adalah penyelenggara organisasi yang memberikan pertimbangan etis, normatif maupun keorganisasian  dalam kaitan dengan profesi psikologi baik sebagai ilmuwan maupun praktik psikologi kepada anggota maupun organisasi.

(2)               Penyelesaian masalah pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia oleh Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi, dilakukan oleh Majelis Psikologi dengan memperhatikan laporan yang masuk akal dari berbagai pihak dan kesempatan untuk membela diri.

(3)               Apabila terdapat masalah etika dalam pemberian jasa dan atau praktik psikologi yang belum diatur dalam kode etik psikologi Indonesia maka Himpunan Psikologi Indonesia wajib mengundang Majelis Psikologi untuk membahas dan merumuskannya, kemudian disahkan dalam sebuah Rapat yang dimaksudkan untuk itu.







   Pasal 4
       PENYALAHGUNAAN PEKERJAAN DI BIDANG PSIKOLOGI

(1)               Setiap pelanggaran wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi organisasi oleh sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Himpunan Psikologi Indonesia dan Kode Etik Psikologi Indonesia

(2)               Apabila Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menemukan pelanggaran atau penilaian salah terhadap kerja mereka, mereka mengambil langkah-langkah yang masuk akal sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk memperbaiki atau mengurangi pelanggaran atau kesalahan yang terjadi:

(3)               Pelanggaran kode etik psikologi adalah segala tindakan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang telah dirumuskan dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran oleh Psikolog terhadap janji / sumpah profesi, praktik psikologi yang dilakukan oleh Psikolog yang tidak memiliki Ijin Praktik, serta layanan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam Kode Etik Psikologi Indonesia.
            Pelanggaran sebagaimana dimaksud di atas adalah:
a)            Pelanggaran ringan yaitu:
Tindakan yang dilakukan oleh seorang Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang tidak dalam kondisi yang sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan, sehingga mengakibatkan kerugian.
b)            Pelanggaran sedang yaitu:
         Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi karena kelalaiannya dalam melaksanakan proses maupun penanganan yang tidak sesuai dengan standar prosedur yang telah ditetapkan mengakibatkan kerugian bagi salah satu tersebut di bawah ini:
                                                               i.      Ilmu psikologi
                                                             ii.      Profesi Psikologi
                                                            iii.      Pengguna Jasa dan atau Praktik Psikologi
                                                           iv.      Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
                                                             v.      Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya.
c)            Pelanggaran berat yaitu:
         Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang secara sengaja memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang mengakibatkan kerugian bagi salah satu di bawah ini:
                                                               i.      Ilmu Psikologi
                                                             ii.      Profesi Psikologi
                                                            iii.      Pengguna Jasa dan atau Praktik Psikologi
                                                           iv.      Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
                                                             v.      Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya

(4). Penjelasan tentang jenis pelanggaran dan sanksi akan diatur dalam aturan
      tersendiri.



Pasal 5
PENYELESAIAN  ISU ETIKA
       
(1)               Apabila tanggungjawab etika psikologi bertentangan dengan peraturan hukum, hukum pemerintah atau peraturan lainnya, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus menunjukkan komitmennya terhadap kode etik dan melakukan langkah-langkah untuk penyelesaian konflik sesuai dengan yang diatur dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Apabila konflik tidak dapat diselesaikan dengan cara tersebut, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi diharapkan patuh terhadap tuntutan hukum, peraturan atau otoritas hukum lainnya yang berlaku.

(2)               Apabila tuntutan organisasi dimana Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berafiliasi atau bekerja bertentangan dengan Kode Etik Psikologi Indonesia, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib menjelaskan sifat dan jenis konflik, memberitahu komitmennya terhadap kode etik dan jika memungkinkan menyelesaikan konflik tersebut dengan berbagai cara sebagai bentuk tanggung jawab dan kepatuhan terhadap kode etik

(3)               Pelanggaran terhadap etika profesi psikologi dapat dilakukan oleh Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi, perorangan, organisasi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain. Pelaporan pelanggaran ditujukan kepada Himpunan Psikologi Indonesia untuk nantinya diserahkan kepada Majelis Psikologi Indonesia. Mekanisme pelaporan secara detail akan diatur dalam mekanisme tersendiri.

(4)               Psikolog tidak melaporkan atau menganjurkan melaporkan keluhan atau pelanggran etika secara tergesa-gesa atau secara sengaja mengabaikan fakta-fakta yang ada.

(5)               Kerjasama antara Pengurus Himpsi dan Majelis Psikologi Indonesia menjadi bahan pertimbangan dalam penyelesaian kasus pelanggaran Kode Etik. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam pelaksanaan tindakan investigasi, proses penyidikan dan persyaratan yang diperlukan untuk dapat mencapai hasil yang diharapkan dengan memanfaatkan sistem di dalam organisasi yang ada. Dalam pelaksanaannya diusahakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan tetap memegang teguh prinsip kerahasiaan.

(6)               Apabila terjadi pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia, Pengurus Pusat bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat memberi masukan kepada Majelis Psikologi Wilayah atau Pusat  dengan prosedur sebagai berikut:
a.                  Mengadakan pertemuan guna membahas masalah tersebut.
b.                  Meminta klarifikasi kepada pihak yang melakukan pelanggaran
c.                  Berdasarkan klarifikasi menentukan jenis pelanggaran

(7)               Majelis Psikologi akan melakukan klarifikasi pada anggota yang dipandang melakukan pelanggaran. Berdasarkan keterangan anggota yang bersangkutan dan data-data lain yang berhasil dikumpulkan, maka Majelis Psikologi akan mengambil keputusan tentang permasalahan pelanggaran tersebut.
(8)               Apabila dipandang perlu, Pengurus Pusat bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat mendampingi Majelis Psikologi dalam pertemuannya untuk membahas masalah tersebut, juga dalam menyampaikan putusan majelis, baik kepada anggota yang bersangkutan maupun untuk diumumkan sesuai dengan kepentingannya.


Pasal 6
DISKRIMINASI YANG TIDAK ADIL TERHADAP KELUHAN DAN RESPONDEN

Himpunan Psikologi Indonesia dan Majelis Psikologi tidak menolak siapapun yang mengeluh karena terkena pelanggaran etika yang didasarkan pada fakta-fakta yang jelas dan masuk akal.



BAB  III
KOMPETENSI

Pasal 7
RUANG LINGKUP KOMPETENSI

(1)   Ilmuwan Psikologi memberikan jasa dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian dan atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. 

(2)   Psikolog dapat memberikan jasa sebagaimana yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi terutama yang berkaitan dengan psikoterapi setelah memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi yang berdasarkan pendidikan, pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi, telaah dan atau pengalaman profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

(3)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam menangani berbagai isue atau cakupan kasus-kasus khusus, misalnya terkait penanganan HIV / AIDS, kekerasan berbasis gender, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), atau yang terkait dengan kekhususan ras, suku, budaya, asli kebangsaan, agama, bahasa atau kelompok marginal, penting untuk mengupayakan penambahan pengetahuan dan ketrampilan melalui berbagai cara seperti pelatihan, pendidikan khusus, konsultasi atau supervisi terbimbing untuk memastikan kompetensi  dalam memberikan pelayanan jasa dan atau praktik psikologi yang dilakukan kecuali dalam situasi darurat sesuai dengan pasal yang membahas tentang itu.

(4)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi perlu menyiapkan langkah-langkah yang dapat dipertanggungjawabkan dalam area-area yang belum memiliki standar baku penanganan, guna melindungi pengguna jasa dan atau praktik psikologi serta pihak lain yang terkait.                

(5)   Dalam menjalankan peran forensik, selain memiliki kompetensi praktik psikologi sebagaimana tersebut di atas, Psikolog perlu mengenali peraturan-peraturan hukum sehubungan dengan kasus yang ditangani dan peran yang dijalankan.


Pasal  8
PENINGKATAN KOMPETENSI

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib melaksanakan upaya-upaya yang berkesinambungan guna mempertahankan dan meningkatkan kompetensi mereka.


Pasal 9
DASAR-DASAR PENGETAHUAN ILMIAH dan SIKAP PROFESIONAL

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam pengambilan keputusan harus berdasar pada pengetahuan ilmiah dan sikap profesional yang sudah teruji dan diterima secara luas atau universal dalam  disiplin ilmu psikologi.


Pasal 10
PENDELEGASIAN PEKERJAAN PADA ORANG LAIN

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang mendelegasikan pekerjaan pada asisten, mahasiswa, mahasiswa yang disupervisi, asisten penelitian, asisten pengajaran, atau kepada jasa orang lain seperti penterjemah; perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk:
a)      menghindari pendelegasian kerja tersebut kepada orang yang memiliki hubungan ganda dengan yang diberikan jasa dan atau praktik psikologi, yang mungkin akan mengarah pada eksploitasi atau hilangnya objektivitas
b)      memberikan wewenang hanya untuk tanggung jawab di mana orang yang diberikan pendelegasian dapat diharapkan melakukan secara kompeten atas dasar pendidikan, pelatihan atau pengalaman, baik secara independen, atau dengan pemberian supervisi hingga level tertentu; dan
c)      memastikan bahwa orang tersebut melaksanakan layanan psikologi  secara kompeten.


Pasal  11
MASALAH DAN KONFLIK PERSONAL

(1)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa  masalah dan konflik pribadi mereka akan dapat mempengaruhi efektifitas kerja. Dalam hal ini Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mampu menahan diri dari tindakan yang dapat merugikan pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain, sebagai akibat dari masalah dan atau konflik pribadi tersebut.

(2)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berkewajiban untuk waspada terhadap tanda-tanda adanya masalah dan konflik pribadi, bila hal ini terjadi sesegera mungkin mencari bantuan atau melakukan konsultasi profesional untuk dapat kembali  menjalankan pekerjaannya secara profesional. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus menentukan akan membatasi, menangguhkan, atau menghentikan kewajiban layanan psikologi tersebut.


Pasal  12
PEMBERIAN LAYANAN PSIKOLOGI DALAM KEADAAN DARURAT

(1)   Keadaan darurat  adalah suatu kondisi di mana layanan kesehatan mental dan atau psikologi secara mendesak dibutuhkan tetapi tidak tersedia tenaga Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang memiliki kompetensi untuk memberikan layanan psikologi yang dibutuhkan.

(2)   Dalam kondisi sebagaimana tersebut dalam poin (1) pasal ini, kebutuhan yang ada tetap harus dilayani. Karenanya Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki kompetensi dalam bidang tersebut dapat memberikan layanan psikologi untuk memastikan bahwa kebutuhan layanan psikologi tersebut tidak ditolak. 

(3)   Selama memberikan layanan psikologi dalam keadan darurat, psikolog yang belum memiliki kompetensi yang dibutuhkan dan atau Ilmuwan Psikologi perlu segera mencari psikolog yang kompeten untuk mensupervisi atau melanjutkan pemberian layanan psikologi tersebut.

(4)   Bila Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang lebih kompeten telah tersedia atau kondisi darurat telah selesai, maka pemberian layanan psikologi tersebut harus dialihkan kepada yang lebih kompeten atau dihentikan segera.



BAB  IV
HUBUNGAN ANTAR MANUSIA

Pasal  13
SIKAP PROFESIONAL
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam memberikan layanan psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/institusi, harus sesuai dengan keahlian dan kewenangannya serta berkewajiban untuk:
a)      Mengutamakan dasar-dasar profesional
b)      Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya.
c)      Melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai   dampak layanan psikologi yang diterimanya.
d)      Mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut.
e)      Dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan terkena dampak negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan psikologi yang dilakukan oleh Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi maka pemakai layanan psikologi tersebut harus diberitahu.
Pasal  14
PELECEHAN

(1)   Pelecehan Seksual :
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam penerapan keilmuannya tidak terlibat dalam pelecehan seksual. Tercakup dalam pengertian ini adalah permintaan hubungan seks, cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal yang bersifat seksual, yang terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan atau peran sebagai Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi. Pelecehan seksual dapat terdiri dari satu perilaku yang intens / parah, atau perilaku yang berulang, bertahan / sangat meresap, serta menimbulkan trauma. Perilaku yang dimaksud dalam pengertian ini adalah tindakan atau perbuatan yang dianggap:
 (a) tidak dikehendaki, tidak sopan, dapat menimbulkan sakit hati atau dapat menimbulkan suasana tidak nyaman, rasa takut, mengandung permusuhan yang dalam hal ini Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mengetahui atau diberitahu mengenai hal tersebut atau
 (b) bersikap keras atau cenderung menjadi kejam atau menghina terhadap seseorang dalam konteks tersebut.
(c) sepatutnya menghindari hal-hal yang secara nalar merugikan atau patut diduga dapat merugikan pengguna layanan psikologi atau pihak lain.

(2)    Pelecehan lain
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi  tidak diperkenankan secara sadar terlibat dalam perilaku yang melecehkan atau meremehkan individu yang berinteraksi dengan mereka dalam  pekerjaan mereka, baik atas dasar usia, gender, ras, suku, bangsa, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa atau status sosial-ekonomi.


Pasal  15
PENGHINDARAN DAMPAK BURUK

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait dengan kerja mereka serta meminimalkan dampak buruk untuk hal-hal yang tak terhindarkan tetapi dapat diantisipasi sebelumnya. Dalam hal seperti ini, maka pemakai layanan psikologi serta pihak-pihak lain yang terlibat harus mendapat informasi tentang kemungkinan-kemungkinan tersebut.


Pasal  16
HUBUNGAN MAJEMUK

(1)   Hubungan majemuk terjadi apabila :
a)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi sedang dalam peran profesionalnya dengan seseorang dan dalam waktu yang bersamaan menjalankan peran lain dengan orang yang sama, atau 

b)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam waktu yang bersamaan memiliki hubungan dengan seseorang yang secara dekat berhubungan dengan orang yang memiliki hubungan profesional dengan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tersebut.

(2)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi sedapat mungkin menghindar dari hubungan majemuk apabila hubungan majemuk tersebut dipertimbangkan dapat  merusak objektivitas, kompetensi atau efektivitas dalam menjalankan fungsinya sebagai Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi, atau apabila beresiko terhadap eksploitasi atau kerugian pada orang atau pihak lain dalam hubungan profesional tersebut.

(3)   Apabila ada hubungan majemuk yang diperkirakan akan merugikan , Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melakukan langkah-langkah yang masuk akal untuk mengatasi hal tersebut dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik orang yang terkait dan kepatuhan yang maksimal terhadap Kode etik.

(4)   Apabila Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dituntut oleh hukum, kebijakan institusi, atau kondisi-kondisi luar biasa untuk melakukan lebih dari satu peran, sejak awal mereka harus memperjelas peran yang dapat diharapkan dan rentang kerahasiaannya, bagi diri sendiri maupun bagi pihak-pihak lain yang terkait.


Pasal  17
KONFLIK KEPENTINGAN

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menghindar dari melakukan peran profesional apabila kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial, kepentingan atau hubungan lain  diperkirakan akan merusak objektivitas, kompetensi, atau efektivitas mereka dalam menjalankan fungsi sebagai Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi atau berdampak buruk bagi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan pengguna layanan psikologi tersebut.



Pasal  18
EKSPLOITASI

(1)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap mengandung unsur eksploitasi, yaitu:

a)      Pemanfaatan atau eksploitasi terhadap pribadi atau pihak-pihak yang sedang mereka supervisi, evaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka, seperti mahasiswa, karyawan, peserta penelitian, orang yang menjalani pemeriksaan psikologi ataupun mereka yang berada di bawah penyeliaannya.


b)      Terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan mahasiswa atau mereka yang berada di bawah bimbingan di mana Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memiliki wewenang evaluasi atau otoritas langsung.

c)      Pemanfaatan atau eksploitasi  atau terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan pengguna layanan psikologi.

(2)   Eksploitasi Data
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap mengandung unsur pemanfaatan atau eksploitasi data dari mereka yang sedang disupervisi, dievaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka, seperti mahasiswa, karyawan, partisipan penelitian, pengguna jasa dan atau praktik psikologi ataupun mereka yang berada di bawah penyeliaannya dimana data tersebut digunakan atau dimanipulasi digunakan untuk kepentingan pribadi.

Hubungan sebagaimana tercantum pada (1) dan (2) harus dihindari karena sangat mempengaruhi penilaian masyarakat pada Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi ataupun mengarah pada eksploitasi.


   Pasal  19
         HUBUNGAN PROFESIONAL
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memiliki dua jenis bentuk hubungan profesional yaitu hubungan antar profesi yaitu dengan sesama Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi serta hubungan dengan profesi lain.

(1)   Hubungan antar profesi
a)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati dan menjaga hak-hak serta nama baik rekan profesinya, yaitu sejawat akademisi Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi.
b)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi seyogianya saling memberikan umpan balik konstruktif untuk peningkatan keahlian profesinya.
c)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib mengingatkan rekan profesinya dalam rangka mencegah terjadinya pelanggaran kode etik psikologi.
d)      Apabila terjadi pelanggaran kode etik psikologi yang di luar batas kompetensi dan kewenangan dan butir a, b dan c diatas tidak berhasil dilakukan maka wajib melaporkan kepada organisasi profesi


(2)   Hubungan dengan Profesi lain
a)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati kompetensi dan kewenangan rekan dari profesi lain.
b)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib mencegah dilakukannya pemberian layanan psikologi oleh orang atau pihak lain yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan.


Pasal  20
INFORMED CONSENT

Setiap proses penelitian atau pemeriksaan psikologi yang melibatkan manusia
harus disertai dengan informed consent.
Informed Consent adalah persetujuan dari orang yang akan menjalani pemeriksaan psikologi atau orang yang menjadi subjek penelitian untuk terlibat dalam proses penelitian psikologi yang dinyatakan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh orang yang menjalani pemeriksaan/yang menjadi subyek penelitian dan saksi.  Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah:
a.      Kesediaan untuk mengikuti penelitian dan atau praktik psikologi tanpa             
      paksaan.
b.      Perkiraan lamanya penelitian dan atau praktik psikologi
c.      Gambaran tentang apa yang akan dilakukan dalam proses penelitian, dan atau praktik tersebut
d.      Keuntungan dan atau risiko yang dialami selama proses tersebut
e.      Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut
f.        Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan selama proses tersebut.

Dalam konteks Indonesia pada masyarakat tertentu yang mungkin terbatas pendidikannya atau yang mungkin rentan memberikan informed consent secara tertulis maka informed consent dapat dilakukan secara lisan dan direkam 

Informed consent yang berkaitan dengan proses penelitian psikologi terdapat pada pasal 42 sedangkan yang berkait dengan asesmen psikologi terdapat pada pasal 55 dan yang berkaitan dengan terapi psikologi pada pasal 60 dalam kode etik ini.


Pasal  21
PELAYANAN PSIKOLOGI YANG DIBERIKAN KEPADA ATAU MELALUI ORGANISASI

Ilumuwan Psikologi dan atau Psikolog yang memberikan layanan psikologi kepada organisasi / perusahaan memberikan informasi sepenuhnya tentang:
·         Sifat dan tujuan dari layanan psikologi yang diberikan
·         Penerima layanan psikologi
·         Individu yang menjalani pemeriksaan psikologi
·         Hubungan antara Ilmuwan Psikologi dan atau Psilokog dengan organisasi dan orang yang menjalani pemeriksaan psikologi
·         Batas-batas kerahasiaan yang harus dijaga
·         Orang yang memiliki akses informasi

Apabila Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dilarang oleh organisasi peminta layanan untuk memberikan hasil informasi kepada orang yang menjalani pemeriksaan psikologi, maka hal tersebut harus diinformasikan sejak awal proses pemberian layanan psikologi berlangsung.


Pasal  22
PENGALIHAN DAN PENGHENTIAN LAYANAN PSIKOLOGI

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menyadari pentingnya perencanaan kegiatan dan menyiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan bila terjadi hal-hal yang dapat menyebabkan pelayanan psikologi mengalami penghentian, terpaksa dihentikan atau dialihkan kepada pihak lain. Sebelum layanan psikologi dialihkan atau dihentikan pelayanan tersebut dengan alasan apapun, hendaknya dibahas bersama antara Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dengan penerima layanan psikologi kecuali kondisinya tidak memungkinkan.

(1)   Pengalihan layanan : Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat mengalihkan layanan psikologi kepada sejawat lain (rujukan) karena :
a)      Ketidak mampuan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi, misalnya sakit atau meninggal.
b)      Salah satu dari mereka pindah ke kota lain
c)      Keterbatasan pengetahuan atau kompetensi dari Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
d)      Ketebatasan pemberian imbalan dari penerima jasa dan atau praktik
       psikologi.

(2)   Penghentian layanan : Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus menghentikan layanan psikologi apabila:
a)      Pengguna layanan psikologi sudah tidak memerlukan jasa psikologi dan atau praktik psikologi yang telah dilakukan.
b)      Ketergantungan dari pengguna layanan psikologi maupun orang yang menjalani pemeriksaan terhadap Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang bersangkutan sehingga timbul perasaan tak nyaman atau tidak sehat pada salah satu atau kedua belah pihak.


BAB V
KERAHASIAAN REKAM dan HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGI

Pasal   23
REKAM PSIKOLOGI

Jenis Rekam Psikologi adalah rekam psikologi lengkap dan rekam psikologi terbatas.

(1)   Rekam Psikologi Lengkap
a)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi membuat, menyimpan (mengarsipkan), menjaga, memberikan catatan dan data yang berhubungan dengan penelitian, praktik, dan karya lain sesuai dengan hukum yang berlaku dan dalam cara yang sesuai dengan ketentuan Kode Etik Psikologi Indonesia.
b)      Ilmuwan Psikologi dan atau  Psikolog membuat dokumentasi atas karya profesional dan ilmiah mereka untuk:
                                             i.      memudahkan pengguna layanan psikologi mereka dikemudian hari baik oleh   mereka sendiri atau oleh profesional lainnya
                                           ii.      bukti pertanggung-jawaban telah dilakukannya pemeriksaan psikologi
                                          iii.      memenuhi prasyarat yang ditetapkan oleh institusi ataupun hukum.
c)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjaga kerahasiaan klien dalam hal pencatatan, penyimpanan, pemindahan, dan pemusnahan catatan/data di bawah pengawasannya.
d)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjaga dan memusnahkan catatan dan data, dengan memperhatikan kaidah hukum atau perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan pelaksanaan kode etik ini.
e)      Apabila Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mempunyai dugaan kuat bahwa catatan atau data mengenai jasa profesional mereka akan digunakan untuk keperluan hukum yang melibatkan penerima atau partisipan layanan psikologi mereka, maka Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi bertanggung jawab untuk membuat dan mempertahankan dokumentasi yang telah dibuatnya secara rinci, berkualitas dan konsisten, seandainya diperlukan penelitian dengan cermat dalam forum hukum.
f)        Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan pemeriksaan layanan psikologi terhadap seseorang dan menyimpan hasil pemeriksaan psikologinya dalam arsip sesuai dengan ketentuan,  karena sesuatu hal tidak memungkinkan lagi menyimpan data tersebut, maka demi kerahasiaan pengguna layanan psikologi, sebelumnya Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menyiapkan pemindahan tempat atau pemberian kekuasaan pada sejawat lain terhadap data hasil pemeriksaan psikologi tersebut dengan tetap menjaga kerahasiaannya.  Pelaksanaan dalam hal ini harus di bawah pengawasannya, yang dapat dalam bentuk tertulis atau lainnya.

(2)   Rekam Psikologis untuk Kepentingan Khusus
a)      Laporan pemeriksaan Psikologi untuk kepentingan khusus hanya dapat diberikan kepada personal atau organisasi yang membutuhkan dan berorientasi untuk kepentingan atau kesejahteraan orang yang mengalami pemeriksaan psikologi.
b)      Laporan Pemeriksaan Psikologi untuk kepentingan khusus dibuat sesuai dengan kebutuhan dan tetap mempertimbangkan unsur-unsur ketelitian dan ketepatan hasil pemeriksaan serta menjaga kerahasiaan orang yang mengalami pemeriksaan psikologi.


Pasal  24
       MEMPERTAHANKAN KERAHASIAAN DATA

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau pengguna layanan psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya. Penggunaan keterangan atau data mengenai pengguna layanan psikologi atau orang yang menjalani pemeriksaan psikologi yang diperoleh Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam rangka pemberian layanan Psikologi, hendaknya mematuhi hal-hal sebagai berikut;
a)      Dapat diberikan hanya kepada yang berwenang mengetahuinya dan hanya memuat hal-hal yang langsung dan berkaitan dengan tujuan pemberian layanan psikologi.
b)      Dapat didiskusikan hanya dengan orang-orang atau pihak yang secara langsung berwenang atas diri pengguna layanan psikologi.
c)      Dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan pengguna layanan psikologi, profesi, dan akademisi. Dalam kondisi tersebut indentitas orang yang menjalani pemeriksaan psikologi tetap dijaga kerahasiaannya.

Seandainya data orang yang menjalani layanan jasa dan atau praktik psikologi harus dimasukkan ke data dasar (data base) atau sistem pencatatan yang dapat diakses pihak lain yang tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan maka Ilmuwan Psikologi dan atau  Psikolog harus menggunakan kode atau cara lain yang dapat melindungi orang tersebut dari kemungkinan untuk bisa dikenali.


Pasal  25
MENDISKUSIKAN BATASAN KERAHASIAAN DATA KEPADA PENGGUNA JASA DAN ATAU PRAKTIK PSIKOLOGI

(1)   Materi Diskusi

a)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi membicarakan informasi kerahasian data dalam rangka memberikan konseling dan atau konsultasi kepada pengguna layanan psikologi (perorangan, organisasi, mahasiswa, partisipan penelitian) dalam rangka tugasnya sebagai profesional. Data hasil pemberian layanan psikologi hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmiah atau profesional.
b)      Ilmuwan Psikologi dan  Psikolog dalam melaksanakan tugasnya harus berusaha untuk tidak menggangu kehidupan pribadi pengguna layanan psikologi, kalaupun diperlukan harus diusahakan seminimal mungkin.
c)      Dalam hal diperlukan laporan hasil pemeriksaan psikologi, maka Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi hanya memberikan laporan, baik lisan maupun tertulis; sebatas perjanjian atau kesepakatan  yang telah dibuat.

(2)   Lingkup Orang
a)      Pembicaraan yang berkaitan dengan layanan psikologi hanya dilakukan dengan mereka yang secara jelas terlibat dalam permasalahan atau kepentingan tersebut
b)      Keterangan atau data yang diperoleh dapat diberitahukan kepada orang lain atas persetujuan pemakai layanan psikologi atau penasehat hukumnya.
c)      Jika pemakai jasa masih kanak-kanak atau orang dewasa yang tidak mampu untuk memberikan persetujuan secara sukarela, maka Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib melindungi agar pengguna layanan psikologi serta orang yang menjalani pemeriksaan psikologi tidak mengalami hal-hal yang merugikan.
d)      Apabila Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melakukan konsultasi antar sejawat, perlu diperhatikan hal berikut dalam rangka menjaga kerahasiaan. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tidak saling berbagi untuk hal-hal yang seharusnya menjadi rahasia pengguna layanan psikologi (peserta riset, atau pihak manapun yang menjalani pemeriksaan psikologi), kecuali dengan izin yang bersangkutan atau pada situasi dimana kerahasiaan itu memang tidak mungkin ditutupi. Saling berbagi informasi hanya diperbolehkan kalau diperlukan untuk pencapaian tujuan konsultasi, itupun sedapat mungkin tanpa menyebutkan identitas atau cara pengungkapan lain yang dapat dikenali sebagai indentitas pihak tertentu.


Pasal 26
PENGUNGKAPAN KERAHASIAAN DATA

(1)   Sejak awal Ilmuwan Psikologi dan atau  Psikolog harus sudah merencanakan agar data yang dimiliki terjaga kerahasiaannya dan data itu tetap terlindungi, bahkan sesudah ia meninggal dunia, tidak mampu lagi, atau sudah putus hubungan dengan posisinya atau tempat praktiknya.

(2)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi perlu menyadari bahwa untuk pemilikan catatan dan data yang termasuk dalam klarifikasi rahasia, penyimpanan, pemanfaatan, dan pemusnahan data atau catatan tersebut diatur oleh prinsip legal.

(3)   Cara pencatatan data yang kerahasiaannya harus dilindungi mencakup data pengguna layanan psikologi yang seharusnya tidak dikenai biaya atau pemotongan pajak. Dalam hal ini, pencatatan atau pemotongan pajak mengikuti aturan sesuai hukum yang berlaku.

(4)   Dalam hal diperlukan persetujuan terhadap protokol riset dari dewan penilai atau sejenisnya dan memerlukan identifikasi personal, maka identitas itu harus dihapuskan sebelum datanya dapat diakses.

(5)   Dalam hal diperlukan pengungkapan rahasia maka Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat membuka rahasia tanpa persetujuan klien hanya dalam rangka keperluan hukum atau tujuan lain, seperti membantu mereka yang memerlukan pelayanan profesional, baik secara perorangan maupun organisasi serta untuk melindungi pengguna layanan psikologi dari masalah atau kesulitan.


Pasal  27
PEMANFAATAN INFORMASI DAN HASIL PEMERIKSAAN UNTUK TUJUAN PENDIDIKAN ATAU TUJUAN LAIN

(1)   Pemanfaatan untuk Tujuan Pendidikan
Data dan informasi hasil pemeriksaan psikologi bila diperlukan untuk kepentingan pendidikan, data harus disajikan sebagaimana adanya dengan menyamarkan nama orang atau lembaga yang datanya digunakan.

(2)   Pemanfaatan untuk Tujuan Lain
a)      Pemanfaatan data hasil pemeriksaan psikologi untuk tujuan lain selain tujuan pendidikan harus ada ijin tertulis dari yang bersangkutan dan menyamarkan nama lembaga atau perorangan yang datanya digunakan.
b)      Khususnya untuk pemanfaatan hasil pemeriksaan psikologi di bidang hukum atau hal-hal yang berkait dengan kesejahteraan pengguna layanan Psikologi serta orang yang menjalani pemeriksaan psikologi maka identitas harus dinyatakan secara jelas dan dengan persetujuan yang bersangkutan.
c)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak membuka kerahasiaan pengguna layanan Psikologi serta orang yang menjalani pemeriksaan psikologi untuk keperluan penulisan, pengajaran maupun pengukapan di media, kecuali kalau ada alasan kuat untuk itu dan tidak bertentangan dengan hukum.
d)      Dalam pertemuan ilmiah atau perbincangan profesi yang menghadapkan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi untuk mengemukakan data, harus diusahakan agar pengungkapan data tersebut dilakukan tanpa mengungkapkan identitas, yang bisa dikenali sebagai seseorang atau institusi yang mungkin bisa ditafsirkan oleh siapapun sebagai identitas diri yang jelas ketika hal itu diperbincangkan.




BAB VI
IKLAN DAN PERNYATAAN PUBLIK

Pasal 28
PERTANGGUNGJAWABAN

      Iklan dan Pernyataan publik yang dimaksud dalam pasal ini dapat berhubungan dengan jasa, produk atau publikasi profesional Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi di bidang psikologi, mencakup iklan yang dibayar atau tidak dibayar, brosur, barang cetakan, daftar direktori, resume pribadi atau curriculum vitae, wawancara atau komentar yang dimuat dalam media, pernyataan dalam buku, hasil seminar, lokakarya, pertemuan ilmiah, kuliah, presentasi lisan di depan publik, dan materi-materi lain yang diterbitkan.

(1)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi; dalam memberikan pernyataan kepada masyarakat melalui berbagai jalur media baik lisan maupun tertulis mencerminkan keilmuannya sehingga masyarakat dapat menerima dan memahami secara benar agar terhindar dari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa dan atau praktik psikologi. Pernyataan tersebut harus disampaikan dengan ;
§         Bijaksana, jujur, teliti, hati-hati,
§         Lebih mendasarkan pada kepentingan umum daripada pribadi atau golongan,
§         Berpedoman pada dasar ilmiah dan disesuaikan dengan bidang keahlian/kewenangan selama tidak bertentangan dengan kode etik psikologi.

(2)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam pernyataan yang dibuat harus mencantumkan gelar atau identitas keahlian pada karya di bidang psikologi yang dipublikasikan sesuai dengan gelar yang diperoleh dari institusi pendidikan yang terakreditasi secara nasional atau mencantumkan sebutan psikolog sesuai sertifikat yang diperoleh.

(3)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak membuat pernyataan palsu, menipu atau curang mengenai
a)      Gelar akademik / ijazah
b)      Gelar profesi
c)      Pelatihan, pengalaman atau kompetensi yang dimiliki
d)      Izin Praktik dan Keahlian
e)      Kerjasama institusional atau asosiasi
f)        Jasa atau praktik psikologi yang diberikan
g)      Dasar ilmiah dan klinis, atau hasil dan tingkat keberhasilan jasa layanan
h)      Biaya
i)        Orang-orang atau organisasi dengan siapa bekerjasama  
j)        Publikasi atau hasil penelitian


Pasal 29
      KETERLIBATAN PIHAK LAIN TERKAIT PERNYATAAN PUBLIK

(1)       Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang melibatkan orang atau pihak lain untuk menciptakan atau menempatkan pernyataan publik yang mempromosikan praktek profesional, hasil penelitian atau aktivitas yang bersangkutan, tanggung jawab profesional atas pernyataan tersebut tetap berada di tangan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi.
(2)       Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berusaha mencegah orang atau pihak lain yang dapat mereka kendalikan, seperti lembaga tempat bekerja, sponsor, penerbit, atau pengelola media dari membuat pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai penipuan berkenaan dengan jasa dan atau praktik psikologi. Bila mengetahui adanya pernyataan yang tergolong penipuan atau pemalsuan terhadap karya mereka yang dilakukan orang lain, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berusaha untuk menjelaskan kebenarannya.

(3)       Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak memberikan kompensasi  pada karyawan pers,  baik cetak maupun elektronik atau media komunikasi lainnya sebagai imbalan untuk publikasi pernyataannya dalam berita.


Pasal 30
DESKRIPSI PROGRAM PELATIHAN  dan  PENDIDIKAN NON GELAR

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikolog bertanggung jawab atas pengumuman, katalog, brosur atau iklan, seminar atau program non gelar yang dilakukannya. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memastikan bahwa hal yang diberitakan tersebut menggambarkan secara akurat tentang  tujuan,  kemampuan tentang pelatih, instruktur, supervisor dan biaya yang terkait.





Pasal 31
PERNYATAAN  MELALUI MEDIA

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam memberikan keterangan pada publik melalui media cetak atau elektronik harus berhati-hati untuk memastikan bahwa pernyataan tersebut:
a)      Konsisten terhadap kode etik
b)      Berdasar pada pengetahuan /pendidikan profesional, pelatihan, konsep teoritis dan konsep praktik psikologi yang tepat
c)      Berdasar pada asas praduga tak bersalah
d)      Telah mempertimbangkan batasan kerahasiaan

Pasal 32
IKLAN DIRI YANG BERLEBIHAN

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam menjelaskan kemampuan atau keahliannya harus bersikap jujur, wajar, bijaksana dan tidak berlebihan dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku untuk menghindari  kekeliruan penafsiran di masyarakat.




BAB VII
         BIAYA JASA DAN PRAKTIK PSIKOLOGI

Pasal 33
PENJELASAN BIAYA DAN BATASAN

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjunjung tinggi profesionalitas dan senantiasa terus meningkatkan kompetensinya. Berkaitan dengan hal tersebut Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi perlu dihargai dengan imbalan sesuai profesionalitas dan kompetensinya. Pengenaan biaya atas layanan psikologi kepada pengguna jasa perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/institusi harus disesuaikan dengan keahlian dan kewenangan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi, dengan kewajiban untuk mengutamakan dasar-dasar profesional.

(1)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan kepada pengguna layanan psikologi secara rinci hak dan kewajiban masing-masing pihak termasuk  biaya layanan psikologi yang disediakannya, sesuai kompetensi keilmuan dan profesional yang dimiliki, dalam cakupan standar yang pantas untuk masyarakat/kelompok pengguna layanan psikologi khusus.

(2)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat menggunakan berbagai cara termasuk tindakan hukum untuk mendapatkan imbalan jasa yang telah diberikan jika pengguna jasa tidak memberikan imbalan jasa sebagaimana yang telah disepakati. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus memberitahu pihak yang bersangkutan terlebih dahulu bahwa tindakan tersebut akan dilakukan, serta memberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan permasalahan sebelum tindakan hukum dilakukan.

(3)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak menahan catatan yang diperlukan untuk penanganan darurat terhadap pengguna layanan psikologi, hanya atau semata-mata karena imbalan terhadap layanan psikologi yang diberikan belum diterima.

(4)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak bersedia memenuhi permintaan layanan psikologi yang diketahui melanggar Kode Etik seperti yang dicantumkan dalam keseluruhan pasal-pasal dalam Kode Etik ini, apalagi menerima imbalan dalam bentuk uang atau dalam bentuk lain untuk pekerjaan tersebut.

(5)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi sebagai bentuk kepedulian pada masyarakat dapat dan baik untuk menjalankan, atau terlibat dalam aktivitas-aktivitas penyediaan layanan psikologi secara suka rela, dengan tetap menjunjung tinggi profesionalitas.


Pasal 34
RUJUKAN DAN BIAYA

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi membagi imbalan dengan profesional lain, atasan atau bawahan, pembayaran terhadap masing-masing harus berdasarkan jasa dan atau praktik yang diberikan dan sudah diatur sebelum pelaksanaan pelayanan psikologi dilakukan.



Pasal 35
KEAKURATAN DATA DAN LAPORAN KEPADA PEMBAYAR ATAU SUMBER DANA

Psikolog dan atau Psikologi memastikan keakuratan data dan laporan pemeriksaan psikologi kepada pembayar jasa atau sumber dana


Pasal 36
PERTUKARAN (Barter)

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat menerima benda atau imbalan non uang dari pengguna layanan psikologi sebagai imbalan atas pelayanan psikologi yang diberikan hanya jika tidak bertentangan dengan kode etik dan pengaturan yang dihasilkan tidak eksploitatif.








BAB  VIII
PENDIDIKAN  dan  PELATIHAN

Pasal  37
RANCANGAN dan PENJABARAN  PROGRAM PENDIDIKAN
dan PELATIHAN

(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang bertanggung jawab atas program pendidikan dan pelatihan serta mengadakan langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bahwa program yang dirancang memberikan pengetahuan yang tepat dan pengalaman yang layak  untuk memenuhi kebutuhan surat ijin, sertifikasi atau tujuan lain yang dimaksud untuk program tersebut.

(2) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah yang memadai guna memastikan penjabaran rencana pendidikan dan atau pelatihannya secara tepat dengan materi yang akan dibahas, dasar-dasar untuk evaluasi kemajuan dan sifat dari pengalaman pendidikan dan atau pelatihan. Standar ini tidak membatasi pendidik atau pelatih  untuk memodifikasi isi program pendidikan atau persyaratan jika dari sisi pendidikan dipandang penting atau dibutuhkan, selama peserta didik diberitahukan akan adanya perubahan dalam rangka memungkinkan mereka untuk memenuhi persyaratan pendidikan.

Pasal 38
KEAKURATAN  DALAM PENGAJARAN

IPsikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah yang tepat guna memastikan rencana pendidikan dan atau pelatihannya  berdasar perkembangan kemajuan pengetahuan terkini dan sesuai dengan materi yang akan dibahas.


                         Pasal 39
    PENGUNGKAPAN INFORMASI PRIBADI PESERTA PENDIDIKAN DAN 
                                                      PELATIHAN

(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak meminta peserta didik atau peserta pelatihan untuk mengungkapkan informasi pribadi mereka dalam kegiatan yang berhubungan dengan program pendidikan atau pelatihan, baik secara lisan atau tertulis, yang berkaitan dengan sejarah kehidupan seksual, riwayat penyiksaan, perlakuan psikologis dari hubungan dengan orangtua, teman sebaya, serta pasangan atau pun orang-orang yang signifikan lainnya. Hal tersebut tidak diberlakukan, kecuali jika :

·         Program atau pelatihan teersebut sudah dikemukakan dalam persyaratan pada saat pendaftaran di materi program, atau
·         Menjadi satu cara atau pendekatan yang dianggap penting dan tepat untuk dapat memahami, berempati, memfasilitasi pemulihan dan atau memampukan peserta didik untuk menemukan pendekatan penanganan yang tepat bagi isu atau kasus khusus tertentu
·         Informasi ini penting untuk mengevaluasi  siswa dimana masalah pribadinya dapat dievaluasi dengan mudah akan menghambat  keberhasilan dalam pelatihan.
(2) Bila pengungkapan informasi pribadi yang peka harus dilakukan, hal tersebut harus dilakukan oleh Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang terlatih untuk memastikan kebermanfaatan maksimal, mencegah dampak negatif dari hal tersebut, serta untuk tetap memastikan tidak diungkapkannya informasi pribadi tersebut dalam konteks lain di luar pendidikan dan pelatihan oleh semua pihak yang terlibat. 


                           Pasal 40
KEWAJIBAN PESERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN UNTUK
        MENGIKUTI PROGRAM PENDIDIKAN TERAPI YANG DISYARATKAN

Bila suatu terapi individual atau kelompok merupakan persyaratan dalam suatu program atau pengajaran, psikolog bertanggung jawab bahwa program terapi tersebut tersedia. Terapi yang disyaratkan tersebut diberikan oleh praktisi atau ahli terapi dalam bidangnya  yang tidak berhubungan dengan program atau pengajaran tersebut.
Pengajar yang bertanggung jawab terhadap evaluasi dan prestasi akademik mahasiswa tidak boleh memberikan terapi yang disyaratkan.


Pasal 41
       PENILAI KINERJA PESERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN atau BAWAHAN

(1)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam bidang akademik, pengawasan atau supervisi, menetapkan proses yang spesifik dan berjadwal untuk memberikan umpan balik kepada mahasiswa dan orang yang disupervisi. Informasi mengenai proses tersebut diberikan pada awal pengawasan.

(2)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mengevaluasi kinerja mahasiswa, orang yang disupervisi dan bawahan berdasarkan persyaratan program yang relevan dan telah ditetapkan sebelumnya.


                            Pasal  42
KEAKRABAN SEKSUAL DENGAN PESERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN ATAU ORANG YANG DISUPERVISI

(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak terlibat dalam keakraban seksual dengan peserta didik atau orang yang sedang disupervisi, orang yang berada di agensi atau biro konsultasi psikologi, pusat pelatihan atau tempat kerja Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi, dimana Ilmuwan Psikologi atau Psikolog tersebut mempunyai wewenang, akan menilai atau mengevaluasi mereka.

(2) Bila hal di atas tidak terhindari karena berbagai alasan misalnya karena adanya hubungan khusus yang telah terbawa sebelumnya, tanggungjawab supervisi atau pendidikan harus dialihkan pada Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi lain yang memiliki hubungan netral dengan peserta didik untuk memastikan obyektivitas dan meminimalkan kemungkinan-kemungkinan negatif pada semua pihak terlibat.  


     BAB  IX
PENELITIAN dan PUBLIKASI

      Pasal  43
                                               PEDOMAN UMUM

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan penelitian diawali dengan menyusun dan menuliskan rencana penelitian sedemikian rupa dalam proposal dan protokol penelitian sehingga dapat dipahami oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi membuat desain penelitian, melaksanakan, melaporkan hasilnya yang disusun sesuai dengan standar atau kompetensi ilmiah dan etik. 

(1)   Etika :
       Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memperhatikan dan bertanggung jawab  
       atas etika penelitian dalam merencanakan, melaksanakan dan melaporkan
       hasil penelitian yang dilakukan atau yang dilakukan pihak lain di bawah
       bimbingannya.
(2)   Batasan kewenangan
a)      lPsikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memahami batasan kemampuan dan kewenangan masing-masing anggota Tim yang terlibat dalam penelitian tersebut.
b)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi dengan pihak-pihak yang lebih ahli di bidang penelitian yang sedang dilakukan sebagai bagian dari proses implementasi penelitian.  Konsultasi yang dimaksud dapat meliputi yang berkaitan dengan kompetensi dan kewenangan misalnya badan-badan resmi pemerintah dan swasta, organisasi profesi lain, komite khusus, kelompok sejawat, kelompok seminat, atau melalui mekanisme lain. 

(3)   Tanggung jawab
a)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi bertanggungjawab atas pelaksanaan dan hasil penelitian yang dilakukan .
b)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memberi perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan partisipan penelitian atau pihak-pihak lain terkait, termasuk kesejahteraan hewan yang digunakan dalam penelitian.


Pasal 44
ATURAN DAN IZIN PENELITIAN 

(1)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus memenuhi aturan profesional dan ketentuan yang berlaku, baik dalam perencanaan, pelaksanaan dan penulisan publikasi penelitian. Dalam hal ini termasuk izin penelitian dari instansi terkait dan dari pemangku wewenang dari wilayah dan badan setempat yang menjadi lokasi.

(2)   Jika persetujuan lembaga, komite riset atau instansi lain terkait dibutuhkan, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus memberikan informasi akurat mengenai rancangan penelitian sesuai dengan protokol penelitian dan memulai penelitian setelah memperoleh persetujuan.


Pasal  45
Partisipan Penelitian

(1)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah untuk melindungi perorangan atau kelompok yang akan menjadi partisipan penelitian dari konsekuensi yang tidak menyenangkan, baik dari keikutsertaan atau  penarikan diri/pengunduran dari keikutsertaan.

(2)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berinteraksi dengan partisipan penelitian hanya di lokasi dan dalam hal-hal yang sesuai dengan rancangan penelitian, yang konsisten dengan perannya sebagai peneliti ilmiah. Pelanggaran terhadap hal ini dan adanya tindakan penyalahgunaan wewenang dapat dikenai butir pelanggaran seperti tercantum dalam pasal dan bagian-bagian lain dari Kode Etik ini (misalnya pelecehan seksual dan bentuk pelecehan lain).

(3)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus memberi kesempatan adanya pilihan  kegiatan lain kepada partisipan mahasiswa, peserta pendidikan, anak buah / bawahan, orang yang sedang menjalani pemeriksaan psikologi bila ingin tidak terlibat / mengundurkan diri dari keikutsertaan dalam penelitian yang menjadi bagian dari suatu proses yang diwajibkan dan dapat dipergunakan untuk memperoleh kredit tambahan.


Pasal  46
INFORMED CONSENT PENELITIAN

Sebelum pengambilan data penelitian tetapi setelah memperoleh izin  penelitian Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan pada calon partisipan penelitian dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan istilah-istilah yang dipahami masyarakat umum tentang penelitian yang akan dilakukan. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan kepada calon partisipan asas kesediaan sebagai partisipan penelitian yang menyatakan bahwa keikutsertaan dalam penelitian yang dilakukan bersifat sukarela, sehingga memungkinkan pengunduran diri atau penolakan untuk terlibat. Partisipan harus menyatakan kesediaannya seperti yang dijelaskan pada pasal yang mengatur tentang itu.

(1)   Informed consent Penelitian
Dalam rangka mendapat persetujuan dari calon partisipan, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan proses penelitian. Secara lebih terinci  informasi yang penting untuk disampaikan adalah :
a)      Tujuan penelitian, jangka waktu dan prosedur, antisipasi dari keikutsertaan, yang bila diketahui mungkin dapat mempengaruhi kesediaan untuk berpartisipasi, seperti risiko yang mungkin timbul, ketidaknyamanan, atau efek sebaliknya; keuntungan yang mungkin diperoleh dari penelitian; hak untuk menarik diri dari kesertaan dan mengundurkan diri dari penelitian setelah penelitian dimulai, konsekuensi yang mungkin timbul dari penarikan dan pengunduran diri; keterbatasan kerahasiaan; insentif untuk partisipan; dan siapa yang dapat dihubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut.
b)      Jika partisipan penelitian tidak dapat membuat persetujuan karena keterbatasan atau kondisi khusus, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melakukan upaya memberikan penjelasan dan mendapatkan persetujuan dari pihak berwenang yang mewakili partisipan, atau melakukan upaya lain seperti diatur oleh aturan yang berlaku.
c)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang mengadakan penelitian intervensi dan atau eksperimen, di awal penelitian menjelaskan pada partisipan  tentang perlakuan yang akan dilaksanakan; pelayanan yang tersedia bagi partisipan; alternatif penanganan yang tersedia apabila individu menarik diri selama proses penelitian; dan kompensasi atau biaya keuangan untuk berpartisipasi; termasuk pengembalian uang dan hal-hal lain terkait bila memang ada ketika menawarkan kesediaan partisipan dalam penelitian.
d)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berusaha menghindari penggunaan segala bentuk pemaksaan termasuk daya tarik yang berlebihan  agar partisipan ikut serta  dalam penelitian. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan sifat dari penelitian tersebut, berikut risiko, kewajiban dan keterbatasannya.

(2)   Informed Consent Perekaman
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi  sebelum merekam suara atau gambar  Untuk pengumpulan data harus memperoleh izin tertulis dari partisipan penelitian. Persetujuan tidak diperlukan bila perekaman murni untuk kepentingan observasi alamiah di tempat umum dan diantisipasi tidak akan berimplikasi teridentifikasi atau terancamnya kesejahteraan atau keselamatan  partisipan penelitian atau pihak-pihak terkait. Bila pada suatu penelitian dibutuhkan perekaman tersembunyi, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melakukan perekaman dengan tetap meminimalkan risiko yang diantisipasi dapat terjadi pada partisipan, dan penjelasan mengenai kepentingan perekaman disampaikan dalam debriefing.

(3)   Pengabaian informed consent
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak harus meminta persetujuan partisipan penelitian, hanya jika penelitian melibatkan individu secara anonim atau dengan kata lain tidak melibatkan individu secara pribadi dan diasumsikan tidak ada risiko gangguan pada kesejahteraan atau keselamatan, serta bahaya-bahaya lain pada partisipan penelitian atau pihak-pihak  terkait.
Penelitian yang tidak harus memerlukan persetujuan partisipan antara lain adalah:
a)      penyebaran kuesioner anonim;
b)      observasi alamiah;
c)      penelitian arsip;
yang ke semuanya tidak akan menempatkan partisipan dalam resiko pemberian tanggung jawab hukum atas tindakan kriminal atau perdata, resiko keuangan, kepegawaian atau reputasi nama baik dan kerahasiaan.


                                                          Pasal  47
                           PENGELABUAN / MANIPULASI DALAM PENELITIAN

(1)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak diperkenankan menipu atau menutupi informasi, yang mungkin dapat mempengaruhi calon niat partisipan untuk ikut serta, seperti kemungkinan mengalami cedera fisik, rasa tidak menyenangkan, atau pengalaman emosional yang negatif. Penjelasan harus diberikan sedini mungkin agar calon partisipan dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk terlibat atau tidak dalam penelitian.

(2)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi boleh melakukan penelitian dengan pengelabuan, teknik pengelabuan HANYA dibenarkan bila ada alasan ilmiah, untuk tujuan pendidikan atau bila topik sangat penting untuk diteliti demi pengembangan ilmu, sementara cara lain yang efektif tidak tersedia. Bila pengelabuan terpaksa dilakukan, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan bentuk-bentuk pengelabuan yang merupakan bagian dari keseluruhan rancangan penelitian pada partisipan sesegera mungkin; sehingga  memungkinkan partisipan menarik data mereka, bila partisipan menarik diri atau tidak bersedia terlibat lebih jauh (Lihat juga ’debriefing’ pada pasal 44)

Pasal 48
PENJELASAN SINGKAT/DEBRIEFING

(1)       Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memberikan penjelasan singkat segera setelah pengambilan data, dalam bahasa yang sederhana dan istilah-istilah yang dipahami masyarakat pada umumnya, agar partisipan memperoleh informasi yang tepat tentang sifat, hasil, dan kesimpulan penelitian;  agar Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat mengambil langkah tepat untuk meluruskan persepsi atau konsepsi  keliru yang mungkin dimiliki partisipan.

(2)       Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi resiko atau bahaya jika nilai-nilai ilmiah dan kemanusiaan menuntut penundaan atau penahanan informasi tersebut.

(3)       Jika  Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menemukan bahwa  prosedur penelitian telah mencelakai partisipan; Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah tepat untuk meminimalkan bahaya.


Pasal  49
PENGGUNAAN HEWAN UNTUK PENELITIAN

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memperhatikan peraturan Negara dan standar profesional apabila menggunakan hewan sebagai objek penelitian.  Standar profesional yang dimaksud diantaranya bekerjasama  atau berkonsultasi dengan ahli yang kompeten. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:        

(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan penelitian dengan hewan harus terlatih dan dapat  memperlakukan hewan tersebut dengan baik, mengikuti prosedur yang berlaku, bertanggung jawab untuk memastikan kenyamanan, kesehatan dan perlakuan yang berperikemanusiaan terhadap hewan tersebut. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang sedang melakukan penelitian dengan hewan  perlu memastikan bahwa semua orang yang terlibat  dalam penelitiannya  telah menerima petunjuk mengenai metode penelitian, perawatan dan penanganan hewan yang digunakan, sebatas keperluan penelitian, dan sesuai perannya. Prosedur yang jelas diperlukan sebagai panduan untuk menangani seberapa jauh hewan ’boleh’ disakiti dan terhindar dari perlakuan semena-mena.

(2) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat menggunakan prosedur yang menyebabkan rasa sakit, stres dan penderitaan pada hewan, hanya jika prosedur alternatif tidak memungkinkan dan tujuannya dibenarkan secara ilmiah atau oleh nilai-nilai pendidikan dan terapan.
                                                    
(3) Apabila dalam penelitian diperlukan pembedahan, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjalankan prosedur bedah dengan pembiusan yang memadai dan mengikuti teknik-teknik untuk mencegah infeksi dan meminimalkan rasa sakit selama, dan setelah pembedahan.

(4) Apabila nyawa hewan perlu diakhiri, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melaksanakannya dengan segera, dengan usaha untuk meminimalkan rasa sakit dan sesuai dengan prosedur yang dapat diterima.


                                                          Pasal  50
PELAPORAN DAN PUBLIKASI HASIL PENELITIAN

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi bersikap profesional, bijaksana, jujur dengan memperhatikan keterbatasan kompetensi dan kewenangan sesuai ketentuan yang berlaku dalam melakuan pelaporan / pubikasi hasil penelitian. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa psikologi. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah :

(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak merekayasa data atau melakukan langkah-langkah lain yang tidak bertanggungjawab (lihat pasal lain misalnya terkait pengelabuan, plagiarisme dll).

(2) Jika Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menemukan kesalahan yang signifikan pada data yang dipublikasikan, mereka mengambil langkah untuk mengoreksi kesalahan tersebut dalam sebuah pembetulan (correction), penarikan kembali (retraction), catatan kesalahan tulis atau cetak (erratum) atau alat publikasi lain yang tepat.

(3) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak menerbitkan atau mempublikasikan dalam bentuk original dari data yang pernah dipublikasikan sebelumnya. Ketentuan ini tidak  termasuk data yang dipublikasi ulang jika disertai dengan penjelasan yang memadai. 





Pasal  51
BERBAGI DATA UNTUK KEPENTINGAN PROFESIONAL

(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak menyembunyikan data yang mendasari kesimpulannya setelah hasil penelitian diterbitkan

(2) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat memberikan  data dari hasil penelitian yang telah dipublikasikan bila ada sejawat atau profesional lain yang  memiliki kompetensi sama,dan memerlukannya sebagai data tambahan untuk menguatkan pembuktiannya melalui analisis ulang, atau memakai data tersebut sebagai landasan pekerjaannya.

(3) Ketentuan butir (2) tersebut tidak berlaku jika  hak hukum individu yang menyangkut kepemilikan data melarang penyebarluasannya. Untuk kepentingan ini, sejawat atau profesional lain yang memerlukan data  tersebut wajib mengajukan persetujuan tertulis sebelumnya.

(4) Profesional / sejawat  lain yang memerlukan data penelitian tersebut wajib melindungi kerahasiaan partisipan penelitian, dan memperhatikan hak legal pemilik data.

(5) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat meminta sejawat atau profesional lain yang memerlukan data tersebut untuk ikut bertanggung jawab atas biaya terkait dengan penyediaan informasi.

Pasal  52
PENGHARGAAN DAN PEMANFAATAN KARYA CIPTA PIHAK LAIN
(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai karya cipta pihak lain sesuai dengan undang-undang, peraturan dan kaidah ilmiah yang berlaku umum. Karya cipta yang dimaksud dapat berbentuk  penelitian, buku teks, alat tes atau bentuk lainnya harus dihargai dan dalam pemanfaatannya memperhatikan ketentuan perundangan mengenai hak cipta atau hak intelektual yang berlaku.
(2) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak dibenarkan melakukan plagiarisme dalam berbagai bentuknya, seperti mengutip, menyadur, atau menggunakan hasil karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya secara jelas dan lengkap. Penyajian sebagian atau keseluruhan elemen substansial dari pekerjaan orang lain tidak dapat diklaim sebagai miliknya, termasuk bila pekerjaan atau sumber data lain itu sesekali disebutkan sebagai sumber.
(3) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak dibenarkan menggandakan, memodifikasi, memproduksi, menggunakan baik sebagian maupun seluruh karya orang lain tanpa mendapatkan izin dari pemegang hak cipta.
(4) Kredit publikasi yang diperoleh Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus dapat dipertanggungjawabkan, dan benar-benar mencerminkan kontribusi ilmiah atau profesional yang telah dilakukan atau di mana mereka ikut berpartisipasi. Kepemilikan atas posisi struktural institusional, misalnya kepala bagian atau pemimpin lembaga, tidak membenarkan pencantuman nama yang bersangkutan bila ia memang tidak berkontribusi nyata dalam penelitian atau penulisan.

(5) Kontribusi minor dalam penelitian dan penulisan yang dipublikasikan harus diakui dengan benar, hingga pada catatan kaki dan kata pengantar. Mahasiswa atau orang yang dibimbing tetap harus didaftar sebagai pengarang atau anggota tim pengarang bila publikasi tersebut merupakan karyanya. Artikel yang secara substansial disusun berdasarkan skripsi, tesis dan atau disertasi mahasiswa tetap harus mencantumkan nama mahasiswa tersebut.



BAB   X
PEKERJAAN DAN PENELITIAN DI BIDANG FORENSIK

              Pasal 53
ATURAN HUKUM NASIONAL DAN KOMITMEN TERHADAP KODE ETIK

Psikologi forensik adalah bidang psikologi yang berkaitan dan atau diaplikasikan dalam bidang hukum. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang menjalankan tugas forensik memahami aturan hukum yang berlaku dan implikasinya terhadap peran dan wewenang mereka. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menyadari adanya kemungkinan konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan informasi dan pendapat, dengan keharusan mengikuti aturan hukum yang ditetapkan sesuai sistem hukum yang berlaku. Psikolog dan atau ilmuwan Psikologi berusaha menyelesaikan konflik ini dengan menunjukkan komitmen terhadap kode etik dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik ini dalam cara-cara yang dapat diterima.



Pasal  54
KOMPETENSI DAN KEWENANGAN

(1)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang bekerja di bidang psikologi forensik harus mendasarkan pekerjaannya pada kode etik, terutama berkenaan dengan pengetahuan yang sesuai khususnya untuk bidang ini, serta keterbatasan kompetensi atau wilayah yang ditekuninya dan harus dipastikan dapat dipertanggungjawabkan menurut keahliannya.

(2)   Penelitian dan atau penanganan kasus di bidang psikologi forensik/hukum perlu mempertimbangkan keahlian dan kompetensi. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat melakukan penelitian  di bidang forensik secara  umum tetapi tidak terkait langsung dengan penanganan kasus di bidang psikologi  forensik

(3)   Praktek psikologi forensik adalah penanganan kasus forensik terutama yang berkaitan dengan psikodinamika baik yang terkait ataupun tidak dengan penelitian. Penanganan kasus ini hanya dapat dilakukan oleh psikolog. Praktek Psikologi forensik tersebut meliputi pelaksanaan asesmen, evaluasi psikologis, penegakan diagnosa, konsultasi  dan terapi psikologi  serta  intervensi psikologi lain dan hal-hal lain dalam kaitannya dengan proses hukum (misalnya evaluasi psikologis bagi pelaku atau korban kriminal; sebagai saksi ahli; evaluasi kompetensi untuk hak pengasuhan anak; program asesmen, konsultasi dan terapi di lembaga pemasyarakatan, mediasi konflik).

(4)   IPsikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memberikan laporan tertulis  mengenai hasil penelitian forensik, sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah untuk mendukung pernyataan atau kesimpulannya. Bila tidak dilakukan pemeriksaan menyeluruh karena keadaan tidak memungkinkan, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan keterbatasan yang ada, serta melakukan langkah-langkah untuk membatasi implikasi dari kesimpulan atau rekomendasi yang dibuatnya.

(5)   Psikolog memberikan laporan tertulis atau lisan mengenai hasil penemuan forensik, atau membuat pernyataan karakter psikologi seseorang, hanya sesudah ia melakukan pemeriksaan terhadap pribadi bersangkutan sesuai dengan kaidah ilmiah dan konsep psikologi klinis, untuk mendukung pernyataan atau kesimpulannya. Bila tidak dilakukan pemeriksaan menyeluruh karena keadaan tidak memungkinkan, Psikolog menjelaskan keterbatasan yang ada, serta melakukan langkah-langkah untuk membatasi implikasi dari kesimpulan atau rekomendasi yang dibuatnya.


Pasal 55
PERNYATAAN SEBAGAI SAKSI AHLI/ TESTIMONI

(1)       Psikolog dalam memberikan kesaksian sebagai saksi ahli harus menyusun hasil penemuan forensik atau membuat pernyataan dari karakter psikologi seseorang dan memakai aturan hukum yang berlaku. Bila kemungkinan terjadi konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan pendapat dan keharusan mengikuti aturan hukum yang ditetapkan dalam kasus di pengadilan, psikolog berusaha menyelesaikan konflik ini dengan menunjukkan komitmen terhadap Kode Etik dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik dengan cara-cara yang bisa diterima.

(2)       Bila harus memberikan kesaksian, atau menyampaikan pendapat selaku saksi ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh memang diizinkan oleh aturan hukum yang berlaku; Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus tetap dapat bersikap profesional dalam memberikan pandangan serta menjaga atau meminimalkan terjadinya konflik antara berbagai pihak.


            Pasal 56
PERAN MAJEMUK DAN PROFESIONAL PSIKOLOG DAN ATAU ILMUWAN
                                                         PSIKOLOGI

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus mengindari untuk menjalankan peran majemuk. Bila peran majemuk terpaksa dilakukan kejelasan masing-masing peran harus ditegaskan sejak awal dan tetap berpegang teguh pada azas profesionalitas, obyektivitas serta mencegah dan meminimalkan kesalahpahaman. Hal-hal yang harus diperhatikan bila peran majemuk terpaksa dilakukan :

(1)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menghindar untuk melakukan peran majemuk dalam hal forensik, apalagi yang dapat menimbulkan konflik. Bila peran majemuk terpaksa dilakukan, misalnya sebagai konsultan atau ahli serta menjadi saksi di pengadilan, kejelasan masing-masing peran harus ditegaskan sejak awal bagi Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi, serta pihak-pihak terkait, untuk mempertahankan profesionalitas dan objektivitas, serta mencegah dan meminimalkan kesalahpahaman pihak-pihak lain sehubungan dengan peran majemuknya.

(2)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang menjalin hubungan profesional  sebelumnya dengan orang yang menjalani pemeriksaan tidak terhalangi untuk memberi kesaksian, atau menyampaikan pendapatnya selaku saksi ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh diijinkan oleh aturan hukum yang berlaku. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus tetap dapat bersikap profesional dalam memberikan pandangan serta menjaga atau meminimalkan terjadinya konflik antara berbagai pihak.

(3)   Ilmuwan Psikologi dan Psikolog mempunyai kewajiban untuk memahami dan menjalankan pekerjaan sesuai dengan kode etik dan penerapannya. Kurang dipahaminya kode etik tidak dapat menjadi alasan untuk mempertahankan diri ketika melakukan kesalahan atau pelanggaran.


                                                        BAB   XI
                                                     ASESMEN

                                                       Pasal 57
                                                DASAR ASESMEN

Asesmen Psikologi adalah dilaksanakannya prosedur observasi, wawancara, pemberian satu atau seperangkat instrumen atau alat tes yang bertujuan untuk melakukan penilaian dan atau pemeriksaan psikologi.
(1)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melakukan observasi, wawancara, penggunaan alat instrumen tes sesuai dengan kategori yang ditetapkan untuk membantu psikolog melakukan pemeriksaan psikologis, laporan hasil dan saran, termasuk kesaksian forensik yang memadai mengenai karakteristik psikologis seseorang hanya setelah Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melakukan pemeriksaan kepada individu yang bersangkutan untuk membuktikan dugaan diagnosis yang ditegakkan.
(2)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam membangun hubungan kerja wajib membuat kesepakatan dengan lembaga/institusi/organisasi tempat bekerja mengenai hal–hal yang berhubungan dengan masalah pengadaan, pemilikan, penggunaan dan penguasaan sarana instrumen / alat asesmen.
(3)   Bila usaha asesmen yang dilakukan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dinilai tidak bermanfaat Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tetap diminta mendokumentasikan usaha yang telah dilakukan tersebut.




                                                           Pasal 58   
                                        PENGGUNAAN ASESMEN

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menggunakan teknik asesmen psikologi, wawancara atau observasi, pemberian satu atau seperangkat instrumen tes dengan cara tepat mulai dari proses adaptasi, administrasi, penilaian atau skor, menginterpretasi untuk tujuan yang jelas baik dari sisi kewenangan sesuai dengan taraf jenjang pendidikan dan kompetensi yang disayratkan, penelitian, manfaat dan teknik penggunaan. Hal-hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan proses asesmen adalah :
                                                         
(1)   Konstruksi Tes : Validitas dan Reliabilitas.
a)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menggunakan instrumen asesmen yang jelas validitas dan reliabilitasnya. Instrumen asesmen ditetapkan hanya dapat digunakan sesuai dengan populasi yang diujikan pada saat pengujian validitas dan reliabilitas.
b)      Jika instrumen asesmen yang digunakan belum diuji validitas dan reliabilitasnya. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus menjelaskan kekuatan dan kelemahan dari instrumen tersebut serta interpretasinya.
c)      IPsikolog  dan atau Ilmuwan Psikologi dalam mengembangkan instrumen dan teknik asesmen harus menggunakan prosedur psikometri yang tepat, pengetahuan ilmiah terkini dan profesional untuk desain tes, standardisasi, validasi, penyimpangan dan  penggunaan.


(2)   Tes dan Hasil tes yang Kadaluarsa :
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak mendasarkan keputusan asesmen,        intervensi atau saran dari data hasil tes yang sudah kadaluarsa untuk digunakan pada saat sekarang. Dalam kondisi relatif konstan hasil tes dapat berlaku untuk 2 tahun, namun dalam kondisi atau keperluan khusus harus dilakukan pengetesan kembali.

(3)   Administrasi dan Kategori Tes
Administrasi asesmen psikologi adalah pedoman prinsip dasar yang harus dipatuhi dalam melakukan proses asesmen psikologi. Termasuk dalam proses asesmen psikologi  adalah observasi, wawancara dan pelaksanaan psikodiagnostik.
Kategori alat tes dalam Psikodiagnostik menurut APA :
a)      Level A : Tes yang disusun untuk individu dan kelompok yang tidak bersifat klinis dan tidak membutuhkan keahlian dalam melakukan administrasi dan interpretasi. Tes ini dapat dilakukan oleh siapa saja (non psychologist) (termasuk dalam kategori ini adalah vocational proficiency test).
b)      Level B: Tes yang membutuhkan beberapa pengetahuan tentang konstruksi tes untuk penggunaannya dan didukung oleh pengetahuan dan pendidikan psikologi seperti statistik, perbedaan individu dan bimbingan konseling. (termasuk dalam kategori ini tes inteligensi umum dan inventori)
c)      Level C : Tes yang membutuhkan pemahaman tentang testing dan didukung dengan pendidikan psikologi standar psikolog dengan pengalaman satu tahun disupervisi oleh psikolog dalam menggunakan alat tersebut.

      (4)  Asesmen yang dilakukan oleh orang yang tidak kompeten/qualified
Asesmen psikologi perlu dilakukan oleh pihak-pihak yang memang berkualifikasi, perlu dihindari untuk menggunakan orang atau pekerja yang tidak memiliki kualifikasi memadai. Untuk mencegah asesmen psikologi oleh pihak yang tidak kompeten :
a)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat menawarkan bantuan jasa asesmen  psikologi  kepada professional lain termasuk Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi lain.  
b)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tersebut harus secara akurat mendeskripsikan tujuan, vailiditas, reliabilitas, norma termasuk juga prosedur penggunaan dan kualifikasi khusus yang mungkin diperlukan untuk menggunakan instrumen tersebut.
c)      Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang menggunakan bantuan jasa asesmen psikologi dari Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi lain untuk memperlancar pekerjaannya ikut bertanggung jawab terhadap penggunaan instrumen asesmen secara tepat termasuk dalam hal ini penerapan, skoring dan penterjemahan instrumen tersebut. 
                                                               

                                                                 Pasal 59
                                       INFORMED CONCENT DALAM ASESMEN

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus memperoleh persetujuan untuk melaksanakan asesmen, evaluasi, intervensi atau jasa diagnostik lain sebagaimana yang dinyatakan dalam standar informed consent, kecuali jika
a)      pelaksanaan asesmen diatur oleh peraturan pemerintah atau hukum;
b)      adanya persetujuan karena pelaksanaan asesmen dilakukan sebagai bagian dari kegiatan pendidikan, kelembagaan atau orgainsasi secara rutin misal : seleksi, ujian
c)      pelaksanaan asesmen digunakan untuk mengevaluasi kemampuan individu yang menjalani pemeriksaan psikologis yang digunakan  untuk pengambilan keputusan dalam suatu pekerjaan atau perkara.


                                                      Pasal 60
                                    INTERPRETASI HASIL ASESMEN

Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam menginterpretasi hasil asesmen psikologi harus mempertimbangkan berbagai faktor dari instrumen yang digunakan, karakteristik peserta asesmen seperti keadaan situasional yang bersangkutan, bahasa dan perbedaan budaya yang mungkin kesemua ini dapat mempengaruhi ketepatan interpretasi sehingga dapat mempengaruhi keputusan. 




                                                      Pasal 61
                       PENYAMPAIAN DATA DAN HASIL ASESMEN
                                          
(1)   Data asesmen Psikologi adalah data alat/instrument psikologi yang berupa data kasar, respon terhadap pertanyaan atau stimulus, catatan serta rekam psikologis. Data asesmen ini menjadi kewenangan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan pemeriksaan. Jika diperlukan data asesmen dapat disampaikan kepada sesama profesi untuk kepentingan melakukan tindak lanjut bagi kesejahteraan individu yang menjalani pemeriksaan psikologi.  

(2)   Hasil asesmen adalah rangkuman atau integrasi data dari seluruh proses pelaksanaan asesmen. Hasil asesmen menjadi kewenangan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan pemeriksaan dan hasil dapat disampaikan kepada pengguna jasa. Hasil ini juga dapat disampaikan kepada sesama profesi, profesi lain atau pihak lain sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum.

(3)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus memperhatikan kemampuan
      pengguna jasa dalam menjelaskan hasil asesmen psikologi. Hal yang harus
      diperhatikan adalah kemampuan bahasa dan istilah Psikologi yang dipahami
      pengguna jasa.


Pasal 62
MENJAGA ALAT, DATA DAN HASIL ASESMEN

(1)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib menjaga kelengkapan dan keamanan instrumen/alat tes psikologi, data asesmen psikologi dan hasil asesmen psikologi sesuai dengan kewenangan dan sistem pendidikan yang berlaku, aturan hukum dan kewajiban yang telah tertuang dalam kode etik ini.

(2)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib menjaga kelengkapan dan keamanan data hasil asesmen psikologi sesuai dengan kewenangan dan sistem pendidikan yang berlaku yang telah tertuang dalam kode etik ini.  

(3)   Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mempunyai hak kepemilikan sesuai dengan kewenangan dan sIstem pendidikan yang berlaku serta bertanggungjawab terhadap alat asesmen psikologi yang ada di instansi / organisasi tempat dia bekerja.    


                                                                  BAB   XII
                                                            TERAPI

                                                                  Pasal 63
                                                  KUALIFIKASI TERAPIS

(1)   Terapis adalah psikolog yang memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk menjalankan jenis terapi yang akan  dilaksanakan secara mandiri dan atau masih dalam supervisi untuk melaksanakannya sesuai dengan kaidah pelaksanakan terapi tersebut.
(2)   Terapis adalah psikolog yang memiliki kemampuan untuk menjalankan keahliannya dengan mengutamakan dasar-dasar profesional dalam memberikan jasa terapi kepada semua pihak yang membutuhkan dan mampu bertanggung jawab untuk menghindari dampak buruk akibat proses terapi yang dilaksanakannya terhadap klien atau pasien.
(3)   Yang dimaksud dengan sikap profesional adalah senantiasa mengandalkan pada pengetahuan yang bersifat ilmiah dan bertanggung jawab dalam pelaksanaannya serta senantiasa mempertahankan dan meningkatkan derajat kompetensinya dalam menjalankan praktik Psikologi
                                                 

                                                               Pasal 64
                                       INFORMED CONSENT dalam TERAPI

(1)   Psikolog wajib menghargai hak pengguna jasa atau praktik psikologi untuk melibatkan diri atau tidak melibatkan diri dalam proses terapi sesuai dengan azas kesediaan. Oleh karena itu sebelum terapi dilaksanakan, psikolog sebagai terapis perlu mendapatkan persetujuan  tertulis (Informed Consent) dari orang yang menjalani pemeriksaan psikologis, setelah mendapatkan informasi yang perlu diketahui terlebih dahulu.

(2)   Isi dari Informed Consent dapat bervariasi tergantung  pada jenis tindakan terapi yang akan dilaksanakan, tetapi secara umum menunjukkan bahwa orang yang menjalani pemeriksaan psikologi yang akan menandatangani Informed Consent tersebut memenuhi persyaratan sbb:
a)      Mempunyai kemampuan untuk menyatakan persetujuan,
b)      Telah diberi informasi-informasi yang signifikan mengenai prosedur terapi
c)      Secara bebas dan tidak dipengaruhi  dalam menyatakan persetujuannya

(3)   Informed Consent didokumentasikan sesuai prosedur yang tetap. Hal-hal yang perlu diinformasikan sebelum persetujuan terapi ditandatangani oleh orang yang akan menjalani terapi adalah  sebagai berikut:Hal-hal yang perlu diantisipasi tentang terapi adalah:
a.      proses terapi,
b.      tujuan yang akan dicapai,
c.      biaya,
d.      keterlibatan pihak ketiga jika diperlukan,
e.      batasan dari kerahasiaan
f.        dan memberi kesempatan pada orang yang akan menjalani terapi untuk mendiskusikannya sejak awal

(4)   Hal-hal yang berkaitan dengan sifat terapi seperti  kemungkinan adanya sifat tertentu yang dapat berkembang dari terapi, resiko yang potensial muncul, psikoterapi lain sebagai alternatif dan kerelaan untuk berpartisipasi dalam proses terapi

(5)   Jika terapis atau psikolog masih dalam pelatihan dan dibawah supervisi, hal ini perlu diberitahukan kepada orang yang akan menjalani terapi dan hal ini harus menjadi bagian dari prosedur informed consent


                                                           Pasal 65
                   TERAPI YANG MELIBATKAN PASANGAN ATAU KELUARGA

Ketika Psikolog memberikan jasa terapi pada beberapa orang yang memiliki hubungan keluarga atau pasangan (misal : suami istri, significant others, atau orangtua dan anak) maka perlu diperhatikan beberapa prinsip dan klarifikasi mengenai hal-hal sbb:
a)          Siapa yang menjadi pengguna jasa praktik Psikologi tersebut, peran dan hubungan psikolog bagi masing-masing orang yang terlibat dan atau  dilibatkan dalam proses terapi
b)          Kemungkinan penggunaan jasa dan informasi yang diperoleh dari masing-masing orang atau keluarga yang terlibat dalam proses terapi dengan memperhatikan azas kerahasiaan.  (Lihat pasal 19 dan 20 tentang Kerahasiaan)
c)          Jika secara jelas psikolog harus bertindak dalam peran yang bertentangan (misal sebagai terapis keluarga dan kemudian menjadi saksi untuk salah satu pihak dalam kasus perceraian), psikolog perlu mengambil langkah dalam menjelaskan atau memodifikasi, atau menarik diri dari peran-peran yang ada secara tepat. (Lihat pasal 12  tentang Hubungan Majemuk dan pasal 52 tentang Peran Majemuk dalam Forensik)


                                                           Pasal 66
                                              TERAPI KELOMPOK

Ketika Psikolog memberikan jasa praktik psikologi dan terutama terapi pada beberapa orang dalam suatu kelompok, psikolog harus menjelaskan peran dan tanggung jawab semua pihak serta batasan kerahasiaannya.

                                                   Pasal 67
                PEMBERIAN TERAPI BAGI YANG MENJALANI TERAPI SEBELUMNYA

Psikolog saat memutuskan untuk menawarkan atau memberikan jasa kepada orang yang akan menjalani terapi yang sudah pernah mendapatkan terapi dari sejawat psikolog lain, harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
(1)   Psikolog tersebut perlu berhati-hati dalam mempertimbangkan keberpihakan kepada kesejahteraan orang yang menjalani proses terapi serta menghindari potensi konflik dengan psikolog yang sebelumnya telah memberikan jasa terapi.
(2)   Psikolog pelu mendiskusikan isu perawatan atau terapi dan kesejahteraan orang yang menjalani terapi dengan pihak lain yang mewakili orang yang menjalani terapi tersebut dalam rangka meminimalkan resiko kebingungan dan konflik.
(3)   Psikolog mengkomunikasikan kepada  psikolog pemberi jasa praktik sebelumnya jika memungkinkan dan melanjutkan secara hati-hati serta peka pada isu-isu terapeutik.

    
                                                    Pasal 68
            PEMBERIAN TERAPI KEPADA MEREKA YANG PERNAH TERLIBAT 
                              KEINTIMAN/KEAKRABAN SEKSUAL

(1)   Psikolog tidak terlibat keintiman / keakraban seksual dengan orang yang sedang menjalani pelayanan terapi dari psikolog tersebut.

(2)   Psikolog tidak terlibat dalam keintiman seksual dengan orang yang diketahui memiliki hubungan saudara, keluarga atau significant others dari orang yang akan diberi terapi dan psikolog juga tidak diperkenankan mengakhiri terapi untuk alasan agar dapat terlibat dalam keintiman/keakraban dengan keluarga dan atau orang-orang signifikan lainnya.

(3)   Psikolog tidak menerima dan atau memberikan terapi bagi  orang  yang pernah terlibat keintiman/keakraban seksual dengannya.

(4)   Psikolog tidak terlibat keintiman / keakraban seksual dengan mantan orang yang pernah di terapi setidaknya 2 (dua) tahun dari penghentian dan  atau pengakhiran terapi kecuali dalam situasi yang sangat tidak lazim dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan sebagai hal yang tidak bersifat eksploitasi terhadap faftor-faktor yang relevan, termasuk hal-hal sbb:
·      Sejumlah waktu telah berlalu sejak penghentian atau pengakhiran terapi
·      Sifat, jangka waktu dan intensitas terapi
·      Situasi kondisi penghentian atau pengakhiran
·      Riwayat pribadi orang yang menjalani terapi
·      Status mental klien/pasien pada saat ini
·      Kemungkinan yang lebih buruk pada klien atau pasien
·      Adanya kecerobohan pernyataan atau tindakan psikolog selama berjalannya terapi yang mengundang kemungkinan terjadinya hubungan romantik atau seksual dengan orang yang sedang menjalani terapi.


                                                   Pasal 69
                              PENGHENTIAN SEMENTARA TERAPI

Psikolog saat menyepakati kontrak terapi dengan orang yang menjalani pemeriksaan psikologi sehingga  terjadi hubungan profesional yang bersifat terapeutik, maka psikolog tersebut senantiasa berusaha menyiapkan langkah-langkah demi kesejahteraan orang yang menjalani terapi termasuk apabila terjadi hal-hal yang terpaksa mengakibatkan terjadinya penghentian terapi dan atau pengalihan kepada sejawat psikolog lain sebagai rujukan. (lihat pasal 18 tentang Penghentian Jasa dan Praktik Psikologi)

                                                     Pasal 70
                                          PENGHENTIAN TERAPI

(1)   Psikolog wajib mengakhiri terapi ketika orang yang menjalani terapi dengan sangat jelas sudah tidak membutuhkan lagi dan atau tidak memperoleh keuntungan lagi dari terapi tersebut dan atau bahkan akan dirugikan jika terapi tetap berlangsung
(2)   Psikolog dapat mengakhiri terapi jika mengancam dan atau membahayakan bagi orang yang menjalani terapi dan atau orang lain yang memiliki hubungan dengan orang yang menjalani terapi
(3)   Sebelum pengakhiran pemberian terapi, Psikolog memberikan konseling pendahuluan  dan atau menyarankan pemberi jasa alternatif lainnya yang sesuai kebutuhan orang yang menjalani terapi, kecuali jika kondisi initidak memungkinkan .

PENUTUP

Kode Etik Psikologi Indonesia ini disusun secara terperinci sehingga sudah merupakan satu kesatuan untuk dijadikan Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Profesional bagi Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, yang keberadaannya sejak Kongres I Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia tahun 1979, yang dievaluasi nilai kegunaannya sesuai dengan perkembangan tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia, melalui Kongres  II, III, IV, V, VI, VII Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia dan Kongres VIII, IX dan X Himpunan Psikologi Indonesia.


Disahkan di :     Surakarta
Tanggal        :     Maret 2010