Senin, 21 November 2011

CARA MENGATASI TANTRUM PADA ANAK

Mengatasi Tantrum Pada Anak


Sumber: Indofamily.net oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi.

Jika anak-anak menangis dan mengamuk hanya karena tak dibelikan mainan kesukaannya, orangtua diharap memahami kondisi ini. Luapan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol pada anak-anak, disebut sebagai  Temper Tantrum.

Temper Tantrum (untuk selanjutnya disebut sebagai Tantrum) seringkali muncul pada anak usia 15 (lima belas) bulan sampai 6 (enam) tahun. Tantrum biasanya terjadi pada anak yang aktif dengan energi berlimpah. Tantrum juga lebih mudah terjadi pada anak-anak yang dianggap "sulit", dengan ciri-ciri sebagai berikut:
    
   1.Memiliki kebiasaan tidur, makan dan buang air besar tidak teratur.
   2.Sulit menyukai situasi, makanan dan orang-orang baru.
   3.Lambat beradaptasi terhadap perubahan.
   4.Moodnya (suasana hati) lebih sering negatif.
   5.Mudah terprovokasi, gampang merasa marah/kesal.
   6.Sulit dialihkan perhatiannya.

Tantrum termanifestasi dalam berbagai perilaku. Di bawah ini adalah beberapa contoh perilaku Tantrum, menurut tingkatan usia:
     
1.   Di bawah usia 3 tahun:
    * Menangis
    * Menggigit
    * Memukul
    * Menendang
    * Menjerit
    * Memekik-mekik    
    * Melengkungkan punggung
    * Melempar badan ke lantai
    * Memukul-mukulkan tangan
    * Menahan nafas
    * Membentur-benturkan kepala
    * Melempar-lempar barang
 
2.   Usia 3 - 4 tahun:
    * Perilaku-perilaku tersebut diatas
    * Menghentak-hentakan kaki
    * Berteriak-teriak
    * Meninju
    * Membanting pintu
    * Mengkritik
    * Merengek
 
3.   Usia 5 tahun ke atas
    * Perilaku- perilaku tersebut pada 2 (dua) kategori usia di atas
    * Memaki
    *  Menyumpah
    *  Memukul kakak/adik atau temannya
    *  Mengkritik diri sendiri
    *  Memecahkan barang dengan sengaja
    *  Mengancam

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya Tantrum.

Diantaranya adalah sebagai berikut:
     
1. Terhalangnya keinginan anak mendapatkan sesuatu.
Setelah tidak berhasil meminta sesuatu dan tetap menginginkannya, anak mungkin saja memakai cara Tantrum untuk menekan orangtua agar mendapatkan yang ia inginkan, seperti pada contoh kasus di awal.
 
2. Ketidakmampuan anak mengungkapkan diri.
Anak-anak punya keterbatasan bahasa, ada saatnya ia ingin mengungkapkan sesuatu tapi tidak bisa, dan orangtuapun tidak bisa mengerti apa yang diinginkan. Kondisi ini dapat memicu anak menjadi frustrasi dan terungkap dalam bentuk Tantrum.
 
3. Tidak terpenuhinya kebutuhan.
Anak yang aktif membutuh ruang dan waktu yang cukup untuk selalu bergerak dan tidak bisa diam dalam waktu yang lama. Kalau suatu saat anak tersebut harus menempuh perjalanan panjang dengan mobil (dan berarti untuk waktu yang lama dia tidak bisa bergerak bebas), dia akan merasa stres. Salah satu kemungkinan cara pelepasan stresnya adalah Tantrum.
Contoh lain:
anak butuh kesempatan untuk mencoba kemampuan baru yang dimilikinya. Misalnya anak umur 3 tahun yang ingin mencoba makan sendiri, atau umur anak 4 tahun ingin mengambilkan minum yang memakai wadah gelas kaca, tapi tidak diperbolehkan oleh orangtua atau pengasuh. Maka untuk melampiaskan rasa marah atau kesal karena tidak diperbolehkan, ia  memakai cara Tantrum agar diperbolehkan.
 
4. Pola asuh orangtua
Cara orangtua mengasuh anak juga berperan untuk menyebabkan Tantrum. Anak yang terlalu dimanjakan dan selalu mendapatkan apa yang diinginkan, bisa Tantrum ketika suatu kali permintaannya ditolak. Bagi anak yang terlalu dilindungi dan didominasi oleh orangtuanya, sekali waktu anak bisa jadi bereaksi menentang dominasi orangtua dengan perilaku Tantrum. Orangtua yang mengasuh secara tidak konsisten juga bisa menyebabkan anak Tantrum.

Misalnya, orangtua yang tidak punya pola jelas kapan ingin melarang kapan ingin mengizinkan anak berbuat sesuatu dan  orangtua yang seringkali mengancam untuk menghukum tapi tidak pernah menghukum.

Anak akan dibingungkan oleh orangtua dan menjadi Tantrum ketika orangtua benar-benar menghukum. Atau pada ayah-ibu yang tidak sependapat satu sama lain, yang satu memperbolehkan anak, yang lain melarang. Anak bisa jadi akan Tantrum agar mendapatkan keinginannya dan persetujuan dari kedua orangtua.
 
5. Anak merasa lelah, lapar, atau dalam keadaan sakit.  
6. Anak sedang stres (akibat tugas sekolah, dll) dan karena merasa tidak aman (insecure).
    

Cara Mengatasi
Dalam buku Tantrums Secret to Calming the Storm (La Forge: 1996) banyak ahli perkembangan anak menilai bahwa Tantrum adalah suatu perilaku yang masih tergolong normal yang merupakan bagian dari proses perkembangan, suatu periode dalam perkembangan fisik, kognitif dan emosi anak. Sebagai bagian dari proses perkembangan, episode Tantrum pasti berakhir.
 
Beberapa hal positif yang bisa dilihat dari perilaku Tantrum adalah bahwa dengan Tantrum anak ingin menunjukkan independensinya, mengekpresikan individualitasnya, mengemukakan pendapatnya, mengeluarkan rasa marah dan frustrasi dan membuat orang dewasa mengerti kalau mereka bingung, lelah atau sakit.

Namun demikian bukan berarti bahwa Tantrum sebaiknya harus dipuji dan  disemangati (encourage). Jika orangtua membiarkan Tantrum berkuasa (dengan memperbolehkan anak mendapatkan yang diinginkannya setelah ia Tantrum, seperti ilustrasi di atas) atau bereaksi dengan hukuman-hukuman yang keras dan paksaan-paksaan, maka berarti orangtua sudah menyemangati dan memberi contoh pada anak untuk bertindak kasar dan agresif (padahal sebenarnya tentu orangtua tidak setuju dan tidak menginginkan hal tersebut).

Dengan bertindak keliru dalam menyikapi Tantrum, orangtua juga menjadi kehilangan satu kesempatan baik untuk mengajarkan anak tentang bagaimana caranya bereaksi terhadap emosi-emosi yang normal (marah, frustrasi, takut, jengkel, dll) secara wajar dan bagaimana bertindak dengan cara yang tepat sehingga tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain ketika sedang merasakan emosi tersebut.
Jika Tantrum tidak bisa dicegah dan tetap terjadi, maka beberapa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua adalah:
  •  Memastikan segalanya aman. Jika Tantrum terjadi di muka umum, pindahkan anak ke tempat yang aman untuknya melampiaskan emosi. Selama Tantrum (di rumah maupun di luar rumah), jauhkan anak dari benda-benda, baik benda-benda yang membahayakan dirinya atau justru jika ia yang membahayakan keberadaan benda-benda tersebut. Atau jika selama Tantrum anak jadi menyakiti teman maupun orangtuanya sendiri, jauhkan anak dari temannya tersebut dan jauhkan diri Anda dari si anak.
  • Orangtua harus tetap tenang, berusaha menjaga emosinya sendiri agar tetap tenang. Jaga emosi jangan sampai memukul dan berteriak-teriak marah pada anak.
  • Tidak mengacuhkan Tantrum anak (ignore). Selama Tantrum berlangsung, sebaiknya tidak membujuk-bujuk, tidak berargumen, tidak memberikan nasihat-nasihat moral agar anak menghentikan Tantrumnya, karena anak toh tidak akan menanggapi/mendengarkan. Usaha menghentikan Tantrum seperti itu malah biasanya seperti menyiram bensin dalam api, anak akan semakin lama Tantrumnya dan meningkat intensitasnya. Yang terbaik adalah membiarkannya. Tantrum justru lebih cepat berakhir jika orangtua tidak berusaha menghentikannnya dengan bujuk rayu atau paksaan.
Jika perilaku Tantrum dari menit ke menit malahan bertambahburuk dan tidak selesai-selesai, selama anak tidak memukul-mukul Anda, peluk anak dengan rasa cinta. Tapi jika rasanya tidak bisa memeluk anak dengan cinta (karena Anda sendiri rasanya malu dan jengkel dengan kelakuan anak), minimal Anda duduk atau berdiri berada dekat dengannya. Selama melakukan hal inipun tidak perlu sambil menasihati atau complaint (dengan berkata: "kamu kok begitu sih nak, bikin mama-papa sedih"; "kamu kan sudah besar, jangan seperti anak kecil lagi dong"), kalau ingin mengatakan sesuatu, cukup misalnya dengan mengatakan "mama/papa sayang kamu", "mama ada di sini sampai kamu selesai".  Yang penting di sini adalah memastikan bahwa anak merasa aman dan tahu bahwa orangtuanya ada dan tidak menolak (abandon) dia.

kendala dan keterlambatan bicara pada anak

Gangguan Keterlambatan Bicara


Gangguan keterlambatan bicara adalah istilah yang dipergunakan untuk mendeskripsikan adanya hambatan pada kemampuan bicara dan perkembangan bahasa pada anak-anak, tanpa disertai keterlambatan aspek perkembangan lainnya. Pada umumnya mereka mempunyai perkembangan intelegensi dan sosial-emosional yang normal. Menurut penelitian, problem ini terjadi atau dialami 5 sampai 10% anak-anak usia prasekolah dan lebih cenderung dialami oleh anak laki-laki dari pada perempuan.

Di awal usia batita, anak mulai mampu mengucapkan kata yang memiliki makna. Meski kebanyakan kata tersebut masih sulit dipahami karena artikulasi (pengucapannya) masih belum baik. Perlu diketahui, kemampuan batita dalam berbicara dipengaruhi kematangan oral motor (organ-organ mulut). Sementara, kemampuan yang menunjang perkembangan bahasa di antaranya kemampuan mendengar, artikulasi, fisik (perkembangan otak dan alat bicara), dan lingkungan.

Gangguan kemampuan bicara atau keterlambatan bicara dan berbahasa ini haruslah dideteksi dan ditangani sejak dini dan dengan metode yang tepat. Bagaimana pun juga, bicara dan bahasa merupakan media utama seseorang untuk mengekspresikan emosi, pikiran, pendapat dan keinginannya. Bayangkan saja, jika ia mengalami masalah dalam mengekspresikan diri, untuk bisa dimengerti oleh orang lain atau orang tuanya, guru dan teman-temannya, maka bisa membuat ia frustrasi. Mungkin pula ia akan merasa frustrasi dan malu karena teman-temannya memperlakukan dia secara berbeda, entah mengucilkan atau pun membuatnya jadi bahan tertawaan. Jika tidak ada yang bisa mengerti apa sih yang jadi keinginannya atau apa yang dimaksudkannya, maka tidak heran jika lama kelamaan ia akan berhenti untuk berusaha membuat orang lain mengerti. Padahal, belajar melalui proses interaksi adalah proses penting dalam menjadikan seorang manusia bertumbuh dan berhasil menjadi orang seperti yang diharapkannya.

PENYEBAB KETERLAMBATAN BICARA

Penyebab dari keterlambatan bicara ini disebabkan oleh beragam faktor, seperti :

1. Hambatan pendengaran

Pada beberapa kasus, hambatan pada pendengaran berkaitan dengan keterlambatan bicara. Jika si anak mengalami kesulitan pendengaran, maka dia akan mengalami hambatan pula dalam memahami, meniru dan menggunakan bahasa. Salah satu penyebab gangguan pendengaran anak adalah karena adanya infeksi telinga.

2. Hambatan perkembangan pada otak yang menguasai kemampuan oral-motor

Ada kasus keterlambatan bicara yang disebabkan adanya masalah pada area oral-motor di otak sehingga kondisi ini menyebabkan terjadinya ketidakefisienan hubungan di daerah otak yang bertanggung jawab menghasilkan bicara. Akibatnya, si anak mengalami kesulitan menggunakan bibir, lidah bahkan rahangnya untuk menghasilkan bunyi kata tertentu.

3. Masalah keturunan

Masalah keturunan sejauh ini belum banyak diteliti korelasinya dengan etiologi dari hambatan pendengaran. Namun, sejumlah fakta menunjukkan pula bahwa pada beberapa kasus di mana seorang anak anak mengalami keterlambatan bicara, ditemukan adanya kasus serupa pada generasi sebelumnya atau pada keluarganya. Dengan demikian kesimpulan sementara hanya menunjukkan adanya kemungkinan masalah keturunan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi.

4. Masalah pembelajaran dan komunikasi dengan orang tua

* Masalah komunikasi dan interaksi dengan orang tua tanpa disadari memiliki peran yang penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan berbicara dan berbahasa yang tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi dengan si anak lah yang juga membuat anak tidak punya banyak perbendaharaan kata-kata, kurang dipacu untuk berpikir logis, analisa atau membuat kesimpulan dari kalimat-kalimat yang sangat sederhana sekali pun. Sering orang tua malas mengajak anaknya bicara panjang lebar dan hanya bicara satu dua patah kata saja yang isinya instruksi atau jawaban sangat singkat. Selain itu, anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sejak dini (lebih banyak menjadi pendengar pasif) karena orang tua terlalu memaksakan dan “memasukkan” segala instruksi, pandangan mereka sendiri atau keinginan mereka sendiri tanpa memberi kesempatan pada anaknya untuk memberi umpan balik, juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan bicara, menggunakan kalimat dan berbahasa.
* Anak-anak yang diasuh oleh orangtua/pengasuh yang pendiam sering kali jadi kurang terstimulasi. Begitu juga anak-anak yang setiap hari kegiatannya hanya menonton teve.
* Anak-anak yang dimanja sehingga tanpa bicara pun, misalnya hanya menunjuk-nunjuk, sudah mendapatkan apa yang diinginkannya.


6. Adanya keterbatasan fisik seperti pendengaran terganggu, otot bicara kurang sempurna, bibir sumbing, dan sebagainya.

5. Faktor Televisi

Sejauh ini, kebanyakan nonton televisi pada anak-anak usia batita merupakan faktor yang membuat anak lebih menjadi pendengar pasif. Pada saat nonton televisi, anak akan lebih sebagai pihak yang menerima tanpa harus mencerna dan memproses informasi yang masuk. Belum lagi suguhan yang ditayangkan berisi adegan-adegan yang seringkali tidak dimengerti oleh anak dan bahkan sebenarnya traumatis (karena menyaksikan adegan perkelahian, kekerasan, seksual, atau pun acara yang tidak disangka memberi kesan yang mendalam karena egosentrisme yang kuat pada anak dan karena kemampuan kognitif yang masih belum berkembang). Akibatnya, dalam jangka waktu tertentu yang mana seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari lingkungan/orang tua untuk kemudian memberikan feedback kembali, namun karena yang lebih banyak memberikan stimulasi adalah televisi (yang tidak membutuhkan respon apa-apa dari penontonnya), maka sel-sel otak yang mengurusi masalah bahasa dan bicara akan terhambat perkembangannya

Menurut Dr. Hardiono D. Pusponegoro, SpA (K) mengutip hasil penelitian Hancox RJ. Association of Television Viewing During Childhood with Poor Educational Achievement.
Arch Pediatr Adolesc Med 2005, bahwa menonton tv saat masa anak dan remaja berdampak jangka panjang terhadap kegagalan akademis umur 26 tahun.

Sedangkan penelitian lain mengenai pengaruh tv terhadap IQ anak mendapati hasil bahwa anak di bawah 3 tahun yang rajin menonton televisi setiap jamnya ternyata hasil uji membaca turun, uji membaca komprehensif turun, juga memori. Yang positif hanyalah kemampuan mengenal dengan membaca naik. Dari situ disimpulkan bahwa menonton tv pada anak di bawah 3 tahun hanya membawa lebih banyak dampak buruk dibanding efek baiknya.
Anak yang sering menonton tv juga mengalami masalah pada pola tidurnya, seperti terlambat tidur, kurang tidur bahkan tak bisa tidur, cemas tanpa sebab, terbangun malam dan mengantuk pada siang hari.

Dr Hardiono menjelaskan, otak berfungsi merencanakan, mengorganisasi dan mengurutkan perilaku untuk kontrol diri sendiri, konsentrasi atau atensi dan menentukan baik atau tidak. "Pusat di otak yang mengatur hal ini adalah korteks prefrontal yang berkembang selama masa anak dan remaja," papar Dr. Hardiono. Televisi dan game video yang mindless (tak membutuhkan otak untuk berpikir) akan menghambat perkembangan bagian otak ini.

Lebih lanjut Dr. Hardiono memaparkan, hanya dari menonton televisi saja otak kehilangan kesempatan mendapat stimulasi dari kesempatan berpartisipasi aktif dalam hubungan sosial dengan orang lain, bermain kreatif dan memecahkan masalah. Selain itu tv bersifat satu arah, sehingga anak kehilangan kesempatan mengekplorasi dunia tiga dimensi serta kehilangan peluang tahapan perkembangan yang baik.



Adapun bentuk-bentuk suara atau pengucapan batita antara lain :

* Babbling

Sebagian anak di awal usia batita, melakukan babbling, yaitu mengeluarkan suara berupa satu suku kata, seperti "ma..." atau "ba.." Namun, itu masih belum bermakna. Jadi sekadar mengoceh atau bereksperimen. Sering-seringlah mengajaknya berkomunikasi, misal, "Adek mau main boneka ini?" Ucapkan hal itu dengan jelas sehingga lambat-laun anak dapat melakukan imitasi untuk dapat mengucapkan kata-kata yang jelas dan bisa dimaknai pula.

* Bahasa "planet"

Contoh, saat meminta sesuatu dia hanya menunjuk sambil mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti orang dewasa. Atau, Ia kemudian menggunakan bahasa tubuh, misalnya ketika masih ingin digendong, ia menarik ibunya sambil mengeluarkan suara tertentu yang maksudnya masih ingin digendong atau bermain dengan ibunya. Bahasa tubuh dijadikan bentuk komunikasi, misalnya ketika ia merasa haus, ia menunjuk atau mengambil gelas plastiknya sambil berkata, "Ma" atau kata lainnya yang belum bisa ditebak tapi maksudnya adalah ia ingin minum, misalnya. Untuk menghadapi hal ini, sebaiknya segera ketahui sesuatu yang dimaksud si kecil dengan cara menuju objek yang diinginkan.

* Sepotong-sepotong

Kemampuannya untuk menangkap, mencerna, dan mengeluarkan apa yang ingin diucapkan masih dalam tahap belajar. Wajar kalau pengucapan masih sering tersendat-sendat/ sepotong-sepotong, hanya pada bagian akhir kata. Misalnya, "minta" jadi "ta", minum jadi "num", dan lain-lain. Kita perlu meluruskan dengan mengucapkan berulang-ulang. Misal "Oh, Adek minta minum ya!"

* Sulit mengucapkan huruf/suku kata

Misalnya, kata mobil disebut "mobing". Atau toko jadi "toto" atau stasiun jadi "tatun". Pengucapan semacam ini, kan, jadi sulit ditangkap artinya. Biasanya kendala ini akan hilang dengan bertambah usia anak atau bila kita melatihnya dengan membiasakan menggunakan bahasa yang baik dan benar.

* Terbalik-balik

Contoh, maksud si kecil ingin mengatakan "Mau ikut ke pasar", tapi yang dia ucapkan, "pacang icut mau", dan sebagainya. Ini tentu saja membingungkan dan kadang sulit dipahami pihak yang diajak bicara. Tak perlu menyalahkan susunan kalimat si kecil karena bisa mengundangnya untuk terus mengulang yang salah. Jangan lupa, di usia ini, si kecil masih dalam masa negativistik sehingga senang membangkang. Sebaiknya coba luruskan dengan cara mengucapkan kalimat dengan susunan yang benar. "Oh, Adek mau ikut ke pasar, ya!" Lalu, berikan jawaban, "Adek boleh kok, ikut ke pasar."

* Cadel

Cadel bisa karena kelainan fisiologis, misalnya lidahnya pendek, tak punya anak tekak, atau langit-langitnya cekung. Untuk menanganinya tentu harus dikonsultasikan dengan dokter. Nah, yang sering terjadi adalah karena kurang/belum matangnya koordinasi bibir dan lidah. Biasanya "r" dibunyikan "l". Meski begitu, kecadelan tiap anak tidak sama persis.

Coba untuk meluruskan dengan cara memberi contoh mengucapkan yang benar. Tak perlu memaksakan anak harus langsung bisa karena belum saatnya ia bisa berucap dengan benar. Alih-alih berhasil, cara memaksa justru membuat si kecil stres. Ujung-ujungnya, malah tak mau berusaha meningkatkan kemampuan bicaranya. Tambah repot, kan? Akan tetapi, bila dibiarkan juga, mungkin anak akan terus berada dalam kecadelannya. Malah akhirnya akan makin sulit diluruskan.

* Salah makna kata/kalimat

Nah, meskipun si kecil sudah bisa mengucapkan kata-kata menjadi kalimat, namun masih sering terjadi salah makna. Tak jarang, rangkaian kalimat itu justru maknanya bisa beragam. Misal, "Ma, mau mamam cucu."

Hal seperti ini umumnya terjadi karena masih terbatasnya kemampuan si kecil untuk menggunakan kosakata yang ada dibenaknya menjadi sebuah kalimat seperti yang diinginkan. Untuk menghadapi hal ini, orangtua perlu meluruskan maksudnya, misalnya, "Oh, Adek mau makan?" Bila ternyata bukan itu maksudnya, coba bilang "Oh, Adek mau minum susu, ya!"

* Gagap

Gagap (stuttering) pada masa batita dianggap normal karena masih belajar mengembangkan keterampilan dan kemampuan bicara.

Paling banyak kegagapan ini terjadi di usia 18 bulan sampai kurang lebih 4 tahun. Misal, kata yang hendak diucapkan diulang-ulang, "Aku aku aku mau pipis." Atau anak sulit mengucapkan kata tertentu di awal atau di tengah, misalnya, "mmmmmama", "makkkkan."

Apa yang dapat memicu anak menjadi gagap?

  1. Kesulitan menemukan kata. Anak balita masih dalam tahap belajar untuk mengembangkan kata.  Sehingga mereka  kebingungan menemukan kata atau kalimat yang tepat untuk mengekspesikan perasaannya pada saat marah, senang dan sedih.
  2. Tekanan dari orang tua dan lingkungan. Perhatian yang berlebihan dari orang tua dan lingkungan karena cara bicara si anak yang gagap akan membuatnya semakin gugup dan kesulitan untuk keluar dari kebiasaan buruknya.
  3. Hukuman yang terlalu keras. Jika anak sering sekali dimarahi biasanya akan memudahkan mengalami kebiasaan ini.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani anak yang gagap dalam berbicara:

  1. Hindari kekesalan dan kekhawatiran. Bantu anak saat ia mencari kalimat yang tepat, jangan kesal dan memarahinya.
  2. Merespon maksudnya, bukan bicaranya. Tunggulah anak anda selesai bicara saat mengungkapkan sesuatu. Kemudian berikan tanggapan atas apa yang ia ceritakan, bukan tentang cara bicaranya.
  3. Posisi sejajar. Saat bicara dengan anak, biasakan dalam posisi sejajar, mata saling berhadapan, yang dapat dilakukan dengan cara jongkok atau berlutut. Hal ini memudahkan anak untuk bicara pada anda. Berikan perhatian pada apa yg ia utarakan.
  4. Lambat dan tenang. Ajaklah anak untuk berbicara lambat dan tenang untuk mengatasi kebiasaan gagapnya.
  5. Suasana yang nyaman. Ciptakan suasana yang nyaman dimanapun ia berada.
  6. Menjaga anak dari ejekan. Hindari untuk mengejek, memarahi dan memberikan julukan tertentu yang menunjukan kebiasaan ini atau membiarkan orang lain atau temannya menertawakannya.
  7. Jauhkan anak dari kondisi stress.



Gagap pada masa batita akan menghilang sendiri seiring dengan makin berkembangnya kemampuan berbicara. Akan tetapi, membiarkan anak dengan kegagapannya tidak juga dianjurkan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, di antaranya jangan "menginterupsi" saat ia terlihat gagap, hindari memaksa dia untuk mengulang kata-kata yang tak lancar diucapkan, jadilah role model bicara yang baik.

* Bicara kasar atau jorok

Tak jarang kita mendengar anak batita mengatakan kata kasar. Biasanya ditiru dari lingkungan bermain. Perlu perhatian orangtua agar si batita mengurangi pengucapan kata-kata tersebut dan tidak menjadikannya kebiasaan. Yang jelas, ia belum tahu arti dan maknanya secara pasti. Bilang bahwa maknanya tak baik jadi tak boleh diungkapkan pada orang lain.



Cara MENGATASI
Ada keterlambatan bicara yang masih bisa diupayakan untuk diatasi sendiri oleh orangtua, tapi ada juga yang harus melibatkan ahli.
* Keterlambatan yang bisa diatasi sendiri.
1. Menyebut nama-nama anggota tubuh. Misal, anak berdiri di depan kaca, tunjuk anggota tubuh yang dimaksud sambil menyebutkan namanya, "Ini tangan Mama, ini tangan Adek."
2. Ketika anak bicara tidak jelas tapi kita mengerti maksudnya, coba betulkan kata-katanya lalu minta ia bicara lebih jelas lagi, baru kemudian penuhi permintaannya. Contoh, si kecil minta susu tapi hanya menunjuk-nunjuk, orangtua bisa mengatakan, "Susu" atau "Mau susu, ayo bilang dulu."
3. Mengucapkan nama benda yang digunakan sehari-hari dengan cara terus mengulang-ulang dan memintanya mengikuti.
4. Ketika seharusnya anak sudah bisa mengucapkan 2-3 kata dalam satu kalimat tapi ia hanya mengucapkan satu kata, minta ia mengatakan dengan benar. Umpama, anak hanya mengatakan "ayam" untuk makan ayam goreng, berikan contoh bagaimana seharusnya, "Adek mau makan ayam gorengnya? Ayo bilang, makan ayam," dengan suara lebih keras dan minta ia mengulanginya.
5. Jika ada konsonan-konsonan yang masih sulit diucapkannya di usia 12-18 bulan, beri kesempatan untuk terus meng- ulanginya.
6. Sering-seringlah mengajak anak bicara. Sesekali keraskan suara atau pertegas intonasinya bila anak terlihat tak mengerti.
* Keterlambatan yang harus melibatkan ahli.
1. Sampai usia 12 bulan sama sekali belum bisa babbling.
2. Sampai usia 18 bulan belum ada kata pertama yang cukup jelas, padahal sudah dirangsang dengan berbagai cara.
3. Terlihat kesulitan mengucapkan beberapa konsonan.
4. Sepertinya tidak memahami kata-kata yang kita ucapkan.
5. Terlihat berusaha sangat keras untuk mengatakan sesuatu, misalnya sampai ngeces atau raut muka berubah.
TIP Untuk ORANGTUA
* Banyak-banyak mengajak anak bicara. Walaupun mereka sepertinya belum mengerti, tapi kata-kata tersebut akan diingatnya dan suatu saat akan diekspresikannya.
* Hati-hati dalam memilih kata di depan anak. Karena anak sangat mudah menyerap dan mengingat, jangan mengucapkan kata-kata kotor/umpatan.
* Supaya lebih mudah dimengerti, ajak anak ngobrol dalam suasana yang menyenangkan. Misal, ketika bicara tentang hujan, orangtua memperbolehkan anak menadahkan tangan untuk menampung air hujan sambil bercerita saat hujan seluruh tanaman akan basah. Bisa juga sambil menyanyikan lagu-lagu tentang hujan.
* Ketika bicara usahakan anak memang sedang menaruh perhatian. Apakah matanya sedang melihat ke arah kita/benda yang kita tunjukkan atau ke arah lain. Bila anak terlihat memerhatikan sesuatu, ajak ia bicara mengenai hal/benda yang sedang diperhatikannya itu.
* Berikan makanan padat sesuai usia anak untuk merangsang otot bicaranya.
* Jangan mudah menyerah untuk terus mengajaknya bicara.



sumber
e-psikologi.com
nakita
http://www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=144&Itemid=51

http://www.ibudananak.com/index.php?option=com_news&task=view&id=342&itemid=19
Sebelumnya: Menghadapi temper Tantrum/ Luapan Emosi Anak
Selanjutnya : PERAWATAN DAN PEMELIHARAAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT pada masa kehamilan