View Full Version : Pariwisata Seni-Budaya
be4rt
04-23-2010, 05:14 PM
(http://pandalanememory.blogspot.com/2008/11/banyuwangi-budaya-khas-osing.html) Banyuwangi Budaya kas Osing
Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Jawa Timur. Karakter wilayah yang terletak di ujung paling timur Pulau Jawa ini juga menarik untuk di ketahui selain wilayah tapal kuda (http://pandalanememory.blogspot.com/2008/08/mengenal-tapal-kuda.html).
Karakter Banyuwangi lebih kurang bisa dilihat dari makanan khasnya. Rujak itu dari Sidoarjo sedangkan Soto dari Madura. Disini rujak dan soto dicampur, jadilah rujak soto khas Banyuwangi. Atau pecel dicampur rawon jadilah pecel rawon yang cuma ada di Banyuwangi.
Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi dan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Suku Osing merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang ada di Banyuwangi.
Topografi Banyuwangi yang unik didukung oleh kekuatan karakter masyarakat multikultur yang jumlahnya sekitar 1,5 juta jiwa dan tersebar diwilayah seluas 5.782,50 km2. Ada tiga elemen masyarakat yang secara dominan membentuk stereotype karakter Banyuwangi yaitu Jawa Mataraman, Madura – Pandalungan ( Tapal Kuda ) (http://pandalanememory.blogspot.com/2008/08/mengenal-tapal-kuda.html) dan Osing.
Persebaran tiga entitas (http://id.wikipedia.org/wiki/Entitas) ini bisa ditelisik dengan karakter wilayah secara geografis yaitu Jawa Mataraman lebih banyak mendominasi daerah pegunungan yang banyak hutan seperti wilayah Tegaldlimo, Purwoharjo, Bangorejo dan Tegalsari. Sedangkan masyarakat Madura lebih dominan didaerah gersang seperti di kecamatan Wongsorejo, Muncar dan Glenmore. Sementara masyarakat Osing sendiri dominan di wilayah subur di sekitar Banyuwangi kota, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring dan Genteng.
Walaupun menjadi etnis khas Banyuwangi, secara proporsi, penduduk suku Osing bukan mayoritas di 24 kecamatan. Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa jumlah suku Osing di Banyuwangi. Namun sebagai gambaran, jumlah warga Osing sekitar 20 % dari total populasi. Terbanyak Jawa ( 67 % ) dan sisanya Madura ( 12 % ) dan suku lain ( 1 % ).
Meski berkelompok dalam kantong wilayah tertentu, masyarakat Osing tidak bersifat ekslusif seperti masyarakat Tengger yang hidup di dataran tinggi Tengger ( dekat gunung Bromo ) atau masyarakat Baduy di Banten. Osing sangat adaptif, terbuka dan kreatif terhadap unsur kebudayaan lain.
Karakter egaliter menjadi ciri yang sangat dominan dalam masyarat Osing. Ini tampak dalam
bahasa Osing yang tidak mengenal tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa atau bahasa Madura. Struktur masyarakat Osing pun tidak berorientasi pada priayi seperti orang Jawa juga tidak pada kyai seperti orang Madura dan tidak juga pada Ksatria seperti kasta orang Bali ( Heru SP Saputra, Shrintil, 2007 ).
Masyarakat Banyuwangi beragama Islam, tetapi karakter sinkretisme agama dan budayapun kental.
Banyuwangi adalah kabupaten terluas di Jawa Timur. Karakter wilayah yang terletak di ujung paling timur Pulau Jawa ini juga menarik untuk di ketahui selain wilayah tapal kuda (http://pandalanememory.blogspot.com/2008/08/mengenal-tapal-kuda.html).
Karakter Banyuwangi lebih kurang bisa dilihat dari makanan khasnya. Rujak itu dari Sidoarjo sedangkan Soto dari Madura. Disini rujak dan soto dicampur, jadilah rujak soto khas Banyuwangi. Atau pecel dicampur rawon jadilah pecel rawon yang cuma ada di Banyuwangi.
Suku Osing adalah penduduk asli Banyuwangi dan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi. Suku Osing merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang ada di Banyuwangi.
Topografi Banyuwangi yang unik didukung oleh kekuatan karakter masyarakat multikultur yang jumlahnya sekitar 1,5 juta jiwa dan tersebar diwilayah seluas 5.782,50 km2. Ada tiga elemen masyarakat yang secara dominan membentuk stereotype karakter Banyuwangi yaitu Jawa Mataraman, Madura – Pandalungan ( Tapal Kuda ) (http://pandalanememory.blogspot.com/2008/08/mengenal-tapal-kuda.html) dan Osing.
Persebaran tiga entitas (http://id.wikipedia.org/wiki/Entitas) ini bisa ditelisik dengan karakter wilayah secara geografis yaitu Jawa Mataraman lebih banyak mendominasi daerah pegunungan yang banyak hutan seperti wilayah Tegaldlimo, Purwoharjo, Bangorejo dan Tegalsari. Sedangkan masyarakat Madura lebih dominan didaerah gersang seperti di kecamatan Wongsorejo, Muncar dan Glenmore. Sementara masyarakat Osing sendiri dominan di wilayah subur di sekitar Banyuwangi kota, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Songgon, Singojuruh, Cluring dan Genteng.
Walaupun menjadi etnis khas Banyuwangi, secara proporsi, penduduk suku Osing bukan mayoritas di 24 kecamatan. Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa jumlah suku Osing di Banyuwangi. Namun sebagai gambaran, jumlah warga Osing sekitar 20 % dari total populasi. Terbanyak Jawa ( 67 % ) dan sisanya Madura ( 12 % ) dan suku lain ( 1 % ).
Meski berkelompok dalam kantong wilayah tertentu, masyarakat Osing tidak bersifat ekslusif seperti masyarakat Tengger yang hidup di dataran tinggi Tengger ( dekat gunung Bromo ) atau masyarakat Baduy di Banten. Osing sangat adaptif, terbuka dan kreatif terhadap unsur kebudayaan lain.
Karakter egaliter menjadi ciri yang sangat dominan dalam masyarat Osing. Ini tampak dalam
bahasa Osing yang tidak mengenal tingkatan bahasa seperti bahasa Jawa atau bahasa Madura. Struktur masyarakat Osing pun tidak berorientasi pada priayi seperti orang Jawa juga tidak pada kyai seperti orang Madura dan tidak juga pada Ksatria seperti kasta orang Bali ( Heru SP Saputra, Shrintil, 2007 ).
Masyarakat Banyuwangi beragama Islam, tetapi karakter sinkretisme agama dan budayapun kental.
be4rt
04-23-2010, 05:14 PM
Banyuwangi dan gandrung
Banyuwangi merupakan kawasan yang terdapat paling timur pulau jawa dekat dengan pulau Bali. Wilayah ini terluas dari daerah-daerah lainnya di Jawa Timur. Bisa diketahui juga potensi budaya yang ada di Banyuwangi salah satunya adalah tari gandrung.
Sejak sekitar tujuh tahun terakhir, Dinas Pariwisata dan seniman-budayawan Dewan Kesenian Blambangan (DKB) yang didukung Pemkab Banyuwangi terlihat intensif mengelola gandrung, sebuah seni pertunjukan berbasis tari-nyanyi mirip tayub, gambyong, lengger, teledhek, atau cokek di daerah lain, untuk menyemarakkan pariwisata di daerah itu. Bahkan, melalui SK Bupati, sejak Desember 2003 gandrung resmi menjadi mascot pariwisata Banyuwangi yang disusul pematungan gandrung yang dipajang di berbagai sudut kota dan desa. Pemkab Banyuwangi juga memprakarsai promosi gandrung untuk dipentaskan di beberapa tempat: Surabaya , Jakarta , Hongkong, dan beberapa kota di Amerika Serikat.
Keputusan politik (regulasi) dan aktivitas promosi itu direalisasi memalui beberapa kali seminar, sarasehan, dan workshop baik oleh Dinas Pariwisata setempat maupun DKB yang diadakan untuk itu. Tetapi, beberapa forum itu ternyata juga merekomendasi bahwa gandrung yang dimaksudkan adalah pertunjukan gandrung yang merepresentasikan identitas Using, suatu komunitas etnik yang disebut-sebut sebagai penduduk awal Banyuwangi, pewaris Menakjinggo, dan sisa-sisa perang Paregreg dan Puputan Bayu. Sebuah identifikasi yang memperoleh kekuatan politis sejak tahun 2000 ketika artikulasi etnisitas (kedaerahan), dalam ruang bernama otonomi daerah, memperoleh ruang bebas dalam percaturan politik di Banyuwangi. Melalui berbagai forum itu pula kedua intitusi kebudayaan tersebut juga menyusun kategori-kategori Using dan non-Using baik dalam lagu, tari, maupun sejarah; dalam konteks yang terakhir ini narasi Menakjinggo versi Jawa pun diubah menjadi versi Blambangan.
Dalam sebuah buku yang diterbitkan DKB 2003 disebut bahwa:“Kesenian gandrung tidak lain adalah gambaran perlawanan kebudayaan sebuah masyarakat (Using). Perlawanan terhadap berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik maupun pencitraan negatif yang berulang kali terjadi
dalam kesejarahan masyarakat Using.”(hal. 62). Dan gambar perlawanan itu hanya tampak dalam sebuah pertunjukan yang menyajikan babak-babak secara sempurna (jejer, paju, dan seblang-seblang), lagu-lagu “asli” gandrung atau lagu-lagu Using, tari ukir-kawin atau prapatan, musik bukan Jawa dan bukan pula Bali , dan bersih dari minuman keras.
Bukan itu saja, konservasi tradisi itu juga disosialisasi dan dikukuhkan melalui pelatihan reguler penari gandrung yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan DKB selama tiga bulan setahun sekali. Pelatihan yang telah menelorkan 60 penari (dari 2 angkatan), 12 di antaranya pentas secara professional untuk memenuhi tanggapan di tengah-tengah masyarakat ini dimaksudkan untuk membekali pakem pertunjukan yang merepresentasikan sejarah perlawanan Using menghadapi berbagai tekanan structural dan cultural yang pernah menimpa komunitas itu di masa lalu.
Komunitas Osing, begitu hasil-hasil penelitian menyebutkan, mempunyai sejarah panjang dimana mereka berada dalam tekanan structural politik dan cultural yang menyudutkan. Majapahit, Demak, Mataram, Buleleng, dan VOC adalah pusat-pusat kekuasaan politik yang menginvasi dan memperebutkan Banyuwangi dengan implikasi serius bagi penduduknya. Perlawanan keras Menakjinggo terhadap Majapahit bukan saja dianggap bukti pembangkangan politik tetapi juga sekaligus mewariskan tafsir, konstruksi, stereotipe, bahkan stigmatis terhadap komunitas Using. Prototipe Menakjinggo dalam kethoprak Mataram yang buruk rupa merupakan pencitraan negatif terhadap Using yang menganggapnya sebagai tokoh legendaries yang selalu membela rakyat. Begitu pula ungkapan-ungkapan “tukang santet”, “pemalas”, “ekslusif”, dan seterusnya yang berkembang luas di kalangan masyarakat Jawa.
Dalam konteks gandrung, problemnya adalah ketika ternyata realitas pertunjukan kesenian ini berbeda – atau berlawanan – dengan yang dibayangkan elite Using di birokrasi dan DKB. Dari belasan pertunjukan yang saya saksikan tidak ada satu pun yang sesuai dengan pakem. Pertunjukan gandrung telah menjadi murni hiburan, terbuka terhadap unsur-unsur luar, dan menjadi milik publik yang dinamis dan plural. Bahkan masa lalu yang dibayangkan birokrasi dan seniman-budayawan tersebut dianggap sebagai keinginan mengada-ada oleh seniman dan pendukung gandrung sendiri. Bagi mereka, pertunjukan gandrung adalah transaksi ekonomi untuk hiburan bersama.
dari :D (http://docs.google.com/Doc?docid=0AePvIlEiMkBfZGQ4a3E2bnZfMzc3bTh2NDN3aw&hl=in)
Banyuwangi merupakan kawasan yang terdapat paling timur pulau jawa dekat dengan pulau Bali. Wilayah ini terluas dari daerah-daerah lainnya di Jawa Timur. Bisa diketahui juga potensi budaya yang ada di Banyuwangi salah satunya adalah tari gandrung.
Sejak sekitar tujuh tahun terakhir, Dinas Pariwisata dan seniman-budayawan Dewan Kesenian Blambangan (DKB) yang didukung Pemkab Banyuwangi terlihat intensif mengelola gandrung, sebuah seni pertunjukan berbasis tari-nyanyi mirip tayub, gambyong, lengger, teledhek, atau cokek di daerah lain, untuk menyemarakkan pariwisata di daerah itu. Bahkan, melalui SK Bupati, sejak Desember 2003 gandrung resmi menjadi mascot pariwisata Banyuwangi yang disusul pematungan gandrung yang dipajang di berbagai sudut kota dan desa. Pemkab Banyuwangi juga memprakarsai promosi gandrung untuk dipentaskan di beberapa tempat: Surabaya , Jakarta , Hongkong, dan beberapa kota di Amerika Serikat.
Keputusan politik (regulasi) dan aktivitas promosi itu direalisasi memalui beberapa kali seminar, sarasehan, dan workshop baik oleh Dinas Pariwisata setempat maupun DKB yang diadakan untuk itu. Tetapi, beberapa forum itu ternyata juga merekomendasi bahwa gandrung yang dimaksudkan adalah pertunjukan gandrung yang merepresentasikan identitas Using, suatu komunitas etnik yang disebut-sebut sebagai penduduk awal Banyuwangi, pewaris Menakjinggo, dan sisa-sisa perang Paregreg dan Puputan Bayu. Sebuah identifikasi yang memperoleh kekuatan politis sejak tahun 2000 ketika artikulasi etnisitas (kedaerahan), dalam ruang bernama otonomi daerah, memperoleh ruang bebas dalam percaturan politik di Banyuwangi. Melalui berbagai forum itu pula kedua intitusi kebudayaan tersebut juga menyusun kategori-kategori Using dan non-Using baik dalam lagu, tari, maupun sejarah; dalam konteks yang terakhir ini narasi Menakjinggo versi Jawa pun diubah menjadi versi Blambangan.
Dalam sebuah buku yang diterbitkan DKB 2003 disebut bahwa:“Kesenian gandrung tidak lain adalah gambaran perlawanan kebudayaan sebuah masyarakat (Using). Perlawanan terhadap berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik maupun pencitraan negatif yang berulang kali terjadi
dalam kesejarahan masyarakat Using.”(hal. 62). Dan gambar perlawanan itu hanya tampak dalam sebuah pertunjukan yang menyajikan babak-babak secara sempurna (jejer, paju, dan seblang-seblang), lagu-lagu “asli” gandrung atau lagu-lagu Using, tari ukir-kawin atau prapatan, musik bukan Jawa dan bukan pula Bali , dan bersih dari minuman keras.
Bukan itu saja, konservasi tradisi itu juga disosialisasi dan dikukuhkan melalui pelatihan reguler penari gandrung yang diselenggarakan Dinas Pariwisata dan DKB selama tiga bulan setahun sekali. Pelatihan yang telah menelorkan 60 penari (dari 2 angkatan), 12 di antaranya pentas secara professional untuk memenuhi tanggapan di tengah-tengah masyarakat ini dimaksudkan untuk membekali pakem pertunjukan yang merepresentasikan sejarah perlawanan Using menghadapi berbagai tekanan structural dan cultural yang pernah menimpa komunitas itu di masa lalu.
Komunitas Osing, begitu hasil-hasil penelitian menyebutkan, mempunyai sejarah panjang dimana mereka berada dalam tekanan structural politik dan cultural yang menyudutkan. Majapahit, Demak, Mataram, Buleleng, dan VOC adalah pusat-pusat kekuasaan politik yang menginvasi dan memperebutkan Banyuwangi dengan implikasi serius bagi penduduknya. Perlawanan keras Menakjinggo terhadap Majapahit bukan saja dianggap bukti pembangkangan politik tetapi juga sekaligus mewariskan tafsir, konstruksi, stereotipe, bahkan stigmatis terhadap komunitas Using. Prototipe Menakjinggo dalam kethoprak Mataram yang buruk rupa merupakan pencitraan negatif terhadap Using yang menganggapnya sebagai tokoh legendaries yang selalu membela rakyat. Begitu pula ungkapan-ungkapan “tukang santet”, “pemalas”, “ekslusif”, dan seterusnya yang berkembang luas di kalangan masyarakat Jawa.
Dalam konteks gandrung, problemnya adalah ketika ternyata realitas pertunjukan kesenian ini berbeda – atau berlawanan – dengan yang dibayangkan elite Using di birokrasi dan DKB. Dari belasan pertunjukan yang saya saksikan tidak ada satu pun yang sesuai dengan pakem. Pertunjukan gandrung telah menjadi murni hiburan, terbuka terhadap unsur-unsur luar, dan menjadi milik publik yang dinamis dan plural. Bahkan masa lalu yang dibayangkan birokrasi dan seniman-budayawan tersebut dianggap sebagai keinginan mengada-ada oleh seniman dan pendukung gandrung sendiri. Bagi mereka, pertunjukan gandrung adalah transaksi ekonomi untuk hiburan bersama.
dari :D (http://docs.google.com/Doc?docid=0AePvIlEiMkBfZGQ4a3E2bnZfMzc3bTh2NDN3aw&hl=in)
Dio
04-23-2010, 05:20 PM
sssiippp pak be..... anyar ndoooo
masnawie
04-23-2010, 08:02 PM
semenjak mendapatkan "Bunga" dari Banyuwangi
Pak Be4rt sajake kembali menemukan semangat Hidup.............
nggk ngenekne pameran seni ning bwi tah pak be ?
Pak Be4rt sajake kembali menemukan semangat Hidup.............
nggk ngenekne pameran seni ning bwi tah pak be ?
Koentji
04-23-2010, 08:59 PM
Seolah semangkin cinta dengan Banyuwangi saja Pak Be inniiih.... :D
cakwang
01-12-2011, 06:28 PM
Beberapa waktu yang lalu saya melihat liputan VOA Amerika di Metro TV tentang adanya pameran/promosi wisata Indonesia di New York. Yang bikin saya terharu adalah, dibelakang sang reporter dan narasumber, saya melihat 2 atau 3 wanita sedang menarikan Tari Gandrung lengkap dengan bunyi Kendang Kempul khas Banyuwangi.
Byek, modal njuged gandrung baen wis biso tekan amerika. Isun kapan yoh?:manyun:
Byek, modal njuged gandrung baen wis biso tekan amerika. Isun kapan yoh?:manyun:
noped
01-12-2011, 11:32 PM
Gandrung iki hang kudu di lestarikan, sunatan naggap gandrung, rabi nanggap gandrung, syukuran nanggap gandrung.
Jane nang ndi seh lak pengen hub lewat tlf pengen nanggap gandrung ?
Jane nang ndi seh lak pengen hub lewat tlf pengen nanggap gandrung ?
lareosing.org; Version 4.1.2 Copyright © 2011 vBulletin Solutions, Inc. All rights reserved.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar